❝ Tepat pada saat itu, aku mulai dapat mengenali sisi lain dari dirimu. Bagian darimu yang mungkin tak semua orang tahu. ❞
-SAUJANA-
"Ghina, gimana kok kemarin bisa kalah debatnya?" tanya bu Irna— guru Bahasa Indonesiaku di sekolah.
Jadi, pagi-pagi aku diminta menemui bu Irna di ruang guru ini hanya untuk membahas tentang kekalahanku? Mengapa banyak orang yang hanya melihat hasil, tanpa melihat usahanya? Padahal, bulan kemarin aku sudah berusaha semampuku untuk dapat memenangkan lomba tersebut.
Namun, yang namanya perlombaan 'kan pasti ada yang menang dan yang kalah. Mungkin, lomba debat kemarin itu bukan rezekiku. Lagipula, setelah kalah di perlombaan debat, aku sudah memenangkan lomba-lomba selanjutnya. Olimpiade matematika dan sains contohnya. Dan anehnya lagi, kekalahanku 'kan sudah sebulan yang lalu, mengapa baru sekarang dibahas?
Aku menghela napas. "Saya tidak tahu, Bu, waktu itu saya sudah berusaha sekeras mungkin. Lagipula, kekalahan ini 'kan bukan kehendak saya." ucapku sembari tersenyum.
"Tetapi 'kan seharusnya kamu berusaha lebih keras lagi, Ghin. Ya masa lomba debat pakai bahasa Indonesia aja kalah? Gimana kalau pakai bahasa Inggris?"
"Saya kurang berusaha apa lagi ya, Bu?"
"Harusnya kamu cari tahu alasan kenapa kamu bisa kalah, padahal aslinya 'kan menang,"
"Maksud Ibu?"
Bu Irna terkekeh, "Saya baru dikasih kabar oleh panitia lombanya, Ghin, bahwa ada kekeliruan saat pengumuman pemenang lomba. Seharusnya yang menang lomba itu kamu—"
Mataku membulat, "Serius, Bu?!" tanyaku tidak percaya.
Bu Irna mengangguk sembari memberi senyuman manis. "Dan kamu juga diminta untuk mewakili Indonesia di perlombaan debat dalam bahasa Inggris. Kamu mau, 'kan?"
"Mau banget!"
"Ya sudah, kamu siap-siap dulu, ya?"
"Lombanya sekarang, Bu?" tanyaku yang diberi anggukan oleh bu Irna.
"Bukannya mendadak, acaranya nanti malam kok. Tetapi kita berangkat pagi ini karena lomba akan diadakan di Singapore. Jadi, kita bisa berangkat dulu, terus prepare lagi di sana." jelas bu Irna.
"Ya sudah, Bu, saya ambil tas dulu, ya." pamitku.
Sesampai di kelas, ternyata keadaan di sini masih sepi. Hanya beberapa anak saja yang sudah datang, kebanyakan sih anak-anak yang asosial.
Aku menghela napas sembari tersenyum ketika melihat Galang tengah fokus memainkan ponselnya.
"Hei, jangan dekat-dekat main ponselnya, nanti matamu minus!"
Dia sedikit terkejut ketika aku memukul pelan lengannya, "Iya, Ghin." jawabnya setelah melihat wajahku.
"Geseran dong, Lang," pintaku. Lelaki itu menurut, lalu kembali fokus memainkan ponselnya setelah bergeser.
"Ponsel memang dapat membuat penggunanya kecanduan, ya. Seperti penyakit itu, bahaya. Selain dapat membuat mata minus, dapat juga membuat kita jadi tak acuh dengan lingkungan sekitar. Ngeri aku, Lang." sindirku, tetapi ia tidak mengalihkan atensinya sedikitpun.
Aku menghela napas kasar, lalu menaruh kepalaku di bangku dengan bibir yang mengerucut.
"Apa?" tanya Galang tiba-tiba, setelah sepertinya sudah merasa bosan memainkan ponsel. Aku menggeleng sebagai jawaban.
"Kenapa?" ulangnya. Aku menggeleng lagi, kemudian memutar tubuh, membelakangi Galang.
"Ghina," panggilnya sembari memegang lenganku, lalu memutar tubuhku sehingga kami dapat saling menatap.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] SAUJANA ✔️
Fiksi Remaja[Sedang direvisi] Saujana. Ya. Sejauh manapun kau membawa siuh, netraku tetap tertuju padamu. © nyrtan, 2019.