SEBUAH PENGAKUAN DAN TANGISAN LUNA

24 6 24
                                    

Author's Note : Sedia tissue, ya. Kali aja pengen muntah baca ketikanku ini. Aku belum bisa bikin a good romance story. Jadi, maaf hehe.

❝ Bukti bahwa kami selalu menganggap hadirmu ada adalah tetesan air mata milik Luna. ❞

-SAUJANA-

Ghina pov.

"Galang nggak makan, apa?" tanyaku yang kini tengah menggigit roti panggang rasa cokelat.

"Sudah tadi," jawabnya, sembari terus-menerus menatapku lekat.

Sedari tadi tetap seperti itu, apa dirinya tak berniat untuk mengalihkan pandangannya ke lain arah?

"Udah apanya? Dari tadi minum terus gitu kamu, itu pun minum air putih. Kalau nggak mau makan mending aku pesenin hot chocolate deh, biar bisa ngeganjel perut kamu juga." ujarku, setelah mengunyah potongan terakhir roti panggang milikku tadi.

Lalu, aku hendak berdiri untuk memesankan lelaki ini cokelat panas. Namun, dengan cepat ia cegah.  "Aku alergi cokelat." akunya

"Yaudah, aku pesanin selain itu. Suka matcha? Atau apa? Asal jangan coffee, nanti perutmu sakit."

"Ya sudah, coffee aja kalau begitu,"

"Gila," ketusku sembari memukul lengan Galang.

Ia terkekeh, lalu berkata, "Kamu aja sana yang beli minuman,"

"Ini 'kan aku udah beli matcha tea. Kamu mau apa? Aku traktir deh, asli," bujukku sembari kembali berdiri, tetapi lagi-lagi dicegah.

"Nggak usah, Ghina. Kalau aku minum minuman itu semua, justru aku akan sakit nantinya." ujarnya lembut.

"Lah kenapa emangnya? Kamu sakit, Lang?"

"Iya, aku sakit," pengakuannya yang membuatku terkejut. "Overdosis, karena sayangku ke kamu melebihi batas." lanjutnya, membuatku sontak memutar bola mata jengah.

"Diabetes juga, karena sering melihat senyum manismu,"

"Apaan, orang lu ngelihat gua tiap tanggal sepuluh doang," sinisku, dia hanya tertawa. Menyebalkan.

Harusnya ia tahu kalau aku saat ini tengah memberi kode. Dasar tidak peka.

"Aku juga sakit susah n—"

"Terus kolesterol, asam urat, hipertensi, osteoporosis. Udah kayak lansia aja!" potongku, ia kembali tertawa.

Diam-diam aku tersenyum tipis, melihat wajah Galang yang menjadi dua kali lipat lebih tampan saat tertawa. Momen ini jarang sekali terjadi.

"Apa lihat-lihat?" ketusnya.

Aku berdecak, "Nggak boleh?"

"Boleh, Ghina-ku." katanya sembari tersenyum dan menatapku dalam. Aku diam saja, tak mau membalas tatapannya.

Sial, ucapan galang membuat kupu-kupu di perutku beterbangan.


"Sudah, 'kan? Yuk pulang." ajaknya lalu mengulurkan tangan ke arahku.

Aku terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengambil uluran tangan Galang. "Kamu udah beda banget ya," ujarku sembari berjalan keluar dari mall dengannya.

Mengingat Galang yang dulu tak mau menjabat telapakku, dan sekarang yang... ehm, sudah berani menggenggam tanganku ini membuatku tersipu malu sendiri.

"Beda gimana?" tanyanya tanpa menatap ke arahku.

"Ya beda, pokoknya," ujarku lalu kembali tersenyum.

Ah, mengapa hari ini aku sama sekali tak dapat menahan senyuman ini? Malu rasanya, tetapi perasaan bahagia lebih mendominasi.

[1] SAUJANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang