TENTANG PELUKAN DAN GENGGAMAN

21 6 14
                                    

Author's Note : Ini bakal drama banget, jangan hujat aku yang nggak tau diri ini. Udah tau nggak pinter bikin drama, tapi tetep aja maksain. Kalau mau baca cari posisi senyaman mungkin yaa, karena ini lebih banyak narasinya.

❝ Maaf karena telah menjadi egois. Seharusnya rasa cinta ada untuk membekuk, bukan ada untuk menuntut. ❞

-SAUJANA-

Ghina
Kalau kamu nggak ke sekolah sekarang, aku nggak mau pulang.

Seperti itulah pesan terakhir yang kukirim pada Galang hari ini.

Manusia sialan itu kembali tidak masuk sekolah, bahkan sewaktu ujian sekolah hingga ujian nasional. Awalnya, kukira ia mengerjakan ujian di ruang kepala sekolah— mengingat jabatan kakeknya di sekolah ini.

Namun, tidak. Tadi aku sudah menanyakan hal tersebut pada wakil kepala sekolah. Katanya, pak Ahmad selaku kepala sekolah sekaligus kakeknya Galangpun sudah tidak mengunjungi sekolah dari awal bulan.

Beliau hanya memantau keadaan sekolah dari laptop di rumahnya yang tersambung dengan cctv sekolah, seraya sesekali menelepon bawahannya untuk membereskan beberapa kekacauan yang terjadi.

-SAUJANA-

Aku memang pecinta hujan, tetapi aku tak suka jika terkena tetesan air hujan dikala perasaanku sedang buruk.

Tetapi saat ini, kalian dapat melihat aku— si gadis bodoh yang terdiam seraya merintikan air mata di bawah derasnya air hujan yang turun kali ini.

Semua penghuni sekolah sudah pulang, tak terkecuali. Ya karena saat ini sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit.

Empat jam lebih aku menunggu kehadirannya.

Orang tuaku tengah berada di luar kota untuk satu bulan ini, begitu pula dengan mas Zidan.

Ratusan pesan masuk dari orang-orang terdekatku, memintaku untuk segera kembali pulang. Mereka tidak tahu bahwa saat ini aku masih berada di lingkungan sekolah.

Semua pesan masuk itu tak kuacuhkan— kecualikan Galang dalam hal ini.

Katakan saja aku bodoh. Tidak masalah, karena memang itu faktanya.

Rela menunggu seseorang yang mungkin saja tidak pernah terbesit sedikitpun bayangku dalam pikirannya.

Tiga jam terkena air hujan ternyata mampu membuat tubuhku menjadi cukup menggigil.

Perlahan, pandanganku memudar. Segera kukerjapkan kelopak mataku beberapa kali, berharap penglihatanku kembali normal.

Namun, nihil. Saat ini saja korneaku sudah tidak dapat melihat apapun yang ada di sekeliling. Aku ketakutan dalam kegelapan.

Perlahan-lahan tubuhku mulai kehilangan keseimbangan. Aku menghirup napas dalam, lalu menghembuskannya. Begitu terus secara teratur. Berharap semua ini dapat teratasi dengan mudah.

Air mataku menetes, lagi.

Aku mulai bingung, tanganku bergerak kesana kemari— mencari benda yang sekiranya dapat menjadi penopang tubuhku.

Sampai akhirnya, tangan kananku digerakkan oleh seseorang menuju— ah! Bahunya. Lalu, tak lama kemudian tangan kiriku ia genggam dengan terlampau erat.

Suhu tubuhnya terlampau panas, kontras dengan suhu tubuhku yang semakin dingin seiring berjalannya waktu.

"Terimakasih," ucapku lirih. Aku masih belum tahu siapa seseorang yang dapat disebut sebagai penyelamatku hari ini.

[1] SAUJANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang