Bab VII

5 1 0
                                    

Sudah 1 bulan aku mengemban amanah ini, dibantu dengan Kak Shofwan sebagai Panitia OSIS. Para anggota OSIS mulai membahas tentang event yang akan diselenggarakan beberapa bulan lagi, yaitu Festival Ponpes. Event yang sangat besar yang diselenggarakan 2 tahun sekali, dan aku termasuk orang yang paling beruntung mendapat jabatan ketua panitia.
“Gimana tentang konsep festivalnya nanti, sudah da ide belum?” tanya Kak Michel, selaku Sekertaris Festival.
       Kami berbincang-bincang, mendiskusikan hal tersebut. Kami juga bekerjasama dengan SMP N 1 Magelang dalam acara Festival kali ini. Semua itu atass usulan dari Syaikh Hamdullah selaku Kepala Pondok Pesantren. Alasannya sih simpel aja, katanya saya kan pernah sekolah disana, jadi saya pasti tau seluk-beluknya SMP N 1 Magelang.
“Gimana kalau kita menjadikan kebersamaan sebagai tema kali ini,” ucap Kak Hendro
“Setuju sih, soalnya kalau kita menggunakan tema tahunn kemarin sepertinya kurang cocok di bagian SMP Negerinya,” Ujar Kak Michel “Gimana, ketua?”
     Kak Michel membuyarkan lamunanku, “aku setuju saja sih, tapi lebih pas lagi kalau temanya tentang Pelajar gitu loh,”
“Wah, kalau ini aku setuju banget, kita kan~”
“Iya Michel, kita semua tahu kok. Baiklah, kita akan menggunakan tema itu untuk tahun ini. Selanjutnya mohon kerjasamanya dari SMP N 1.”
     Seorang berbadan besar dengan tubuh jangkung berdiri, seperinya aku kenal dia saat masih di SMP Negeri dulu. Dia adalah kak Satria, ketua OSIS SMP N 1 Magelang.
“Baiklah, besok kita akan rapat lagi di sini, juga dengan anggota OSIS SMP N 1 Magelang,” ujar Kak Michel sambil membereskan kertas-kertas nya.
     Semua orang meninggalkan Aula Besar Pondok, dan berjalan menuju pintu keluar. Tiba-tiba kak Hendro menghampiriku, “Fik, maaf ya atas kelakuan kak Michel. Dia itu orangnya emang hyper-active banget, dan soal Festival Ponpes mohon kerjasamanya ya?”
“Pasti kok, aku jug sudah agak mengenal cara SMP N 1 bekerja, secara aku kan dulu sekolah disana.”
     Kak Hendro memegang erat tanganku, matanya hampir menitihkan air mata. “Mohon Fik, aku mewakili angkatan 13 memohon agar acara kali ini begitu spesial bagi kami.”
“Iya kak, aku janji,”
     “KRIIING!!!” Jam Asrama telah dibunyikan menandakan waktu pulang, Tangga dipenuhi desakan para santriwan dan santriwati. Semuanya hampir menunggu di halaman asrama, menunggu Ustadz Budi membukakan gerbangnya.

∞∞∞

     Rapat selanjutnya dimulai hari ini ba’da Ashar di aula ponpes, kali ini perwakilan OSIS SMP N 1 Magelang datang untuk rapat tentang susunan acara serta jabatannya. Kami semua telah selesai sholat Ashar, lalu berkumpul untuk berangkat bersama. Kali ini rapat digabung dengan pengurus OSIS akhwat, jadi aula ponpes pasti ramai.
“Ketua OSISnya yang mana Fik?” tanya kak Michel kepadaku
“Yang itu,” aku menunjuk seorang teman sekelasku dulu, “Namanya Ghaffar, dia Ketua OSISnya,”
     Kak Michel langsung meyerobot tangannya dari belakang, lalu menanyakan beberapa hal darinya. Namun di sebelahnya ada Aira, teman sekelasku juga. Dia tampak senang sekali bisa bertemu denganku lagi. Aira melambaikan tangannya ke arahku, namun aku hanya mengangggukan kepala sekali.
“Eheem, siapa tuh,” Andi menabrak pundakku dengan sangat keras, “kok cantik ya, hehehe,” tangannya merangkul pundakku, membisikan suatu hal, “Kapan-kapan kenalin ya,”
     Aku mendekatkan bibirku ke depan kuping Andi, “Bodo amat,”
“Eh, kok gitu kamu Fik. Bukan teman seejati nih,” ekspresi wajah Andi berubah seketika.
     Kak Hendro memanggil kami dari depan aula, di sampingnya ada Kak Sabrina, mantan ketua OSIS yang juga ikut dalam Festival ini. “Ayo semuanya, rapatnya sudah mau mulai,”
  
     Rapat kali ini membahas tentang anggaran yang dikeluarkan selama festival ini berlangsung, mulai dari anggaran dana, anggaran sponsor, anggaran gedung, dan lain-lainnya. Aku menyerahkan tugas ini kepada Kak Lintang, bendahara OSIS akhwat untuk memimpin kali ini karena aku tak begitu paham tentang soal anggaaran.
     Di bagian kanan terlihat kak Hendro dan kak Michel sibuk mengurusi lembar proyek yang telah dibuat kemarin, sedangkan kak Lintang membagikan lembaran proyek itu. Aku hanya mengangguk, betapa sulitnya otakku mencerna bahasa yang digunakan oleh mereka. Kak Michel menepuk pundakku, “Gak paham ya Fik, memang kalau perempuan bicara soal uang ujung-ujungnya bakaal rumit,” aku hanya tertawa sejenak, disusul namaku yang disebut oleh Kak Lintang.
“Jadi, bagaimana ketua, tentang anggaran Festival Ponpes ke 4 ini?”
     Aku mengerutkan dahi sambil memandang ke arah lembaar proyek milik kak Lintang, otakku masih bekerja keras memahami alur. “Semua hal tentnag hal yang berkaitkan dengan anggaran aku serahkan kepada Bendahara OSIS baik ikhwan maupun akhwat,”
     Kak Hendro memandangku heran, sedangkan kak Michel menarik lenganku, “nyalimu besar juga Fik, tak pernah ada orang yang berani menyerahkan soal anggaran kepada OSIS Ikhwan,”
“Memangnya kenapa kak? Wajar aja kalau soal angaran aku serahkan kepada bendahara,”
     Kak Michel menggeleng-gelengkan kepalaku, “nanti kamu tahu sendiri,” sekarang aku yang semakin tambah heran.
     “KRIIING!!” Bel asrama telah dibunyikan dan jam dinding menunjukkan tepat jam 5 sore, waktunya kami pulang dan mengakhiri kegiatan. Aku menutup rapat kali ini, dan semuanya berdiri dan langsung meninggalkaan aulaa ponpes.
     Saat perjalanan pulang, Aira melambaikan tangannya lagi sambil tersenyum ke arahku. Namun Andi tiba-tiba datang dan mendorongku hingga pandanganku teralihkan.
“Pulang yuk,”

∞∞∞

     Hari sabtu, untuk kesekalian kalinya kami menggelar rapat Festival Ponpes ke-4. Kali ini rapat yang terakhir kalinya diselenggarakan, sebelum besok penataan panggung dan lain-lainnya. Perwakilan Bendahara dari SMP N 1 dan IFBS saling memberikan laporan tentang keuangan masing-masing.
     Hasil laporan sangat menentukan dana yang dibutuhkan dari Festival, jika satu saja informasi salah, bisa saja anggaran yang dikeluarkan bisa lebih, ataupun bisa kurang. Dengan laporan ini, para sekertaris mencatat semuanya dan menyerahan semua itu kepadaku. Sekarang tugasku tidak begitu berat, tidak seperti yang kemarin.
“Yosh, dengan laporan kali ini, kita bisa menyelenggarakan Festival Ponpes ke-4 kita. Aku akan menyerakan laporan ini kepada Kepsek,”
     Semua orang betepuk tangan, hasil kerja keras akan terbayarkan nanti. Namun tidak seperti  yang kak Michel haarapkan, Festival kali ini memang berbeda dengan festival sebelumnya, karena tema festival ke-4 ini menyangkut tentang tema pelajar, dan harus banyak mendatangkan para pelajar dari luar. Sebenarnya Syaikh Hamdullah menolak ide ini dengan mentah-mentah, aku pun juga tidak kaget. Namun Ustadz Budi memberikan suatu alasan yang sangat bisa diterima oleh Syaikh, yaitu, adakan saja Festival ini di luar komplek Pondok Pesantren. 
“Terima kasih atasa kerjasama kalian semua, termasuk para bendahara yang sangat sangat berguna. File susunan acara dan informasi mengenai Festival ini akan dibagikan besok, jadi tunggu saja. Kalau begitu rapat hari ini di bubarkan,”
     Semua orang berdiri, memberikan tepuk tangannya sekali lagi. Sudah sekitar dua pekan kami berkumpul bercengkrama. Dan sudah berapa kali kami melamgkah keluar dari aula ini. Kak Michel menghampiriku dari belakang, wajahnya tampak senang sekali setelah diberiahu suatu hal dari kak Hnedro.
“Terima kasih Fik, ternyata tujuanmu menggunakan tema pelajar ini agar kami bisa merasakan betapa indahnya Festival terakhir ini,”
“Kalau bukan karena kak Hendro sih,” aku tertawa sedikit, senyum sinisku lepas begitu saja.
“Jadi, kamu gak ikhlas nih,” Kak Michel mencoba menggodaku.
     Aku mengiraukannya dan berjalan begitu saja, Kak Michel lantas mengejarku, “Terserah kak mau bilang apa,”
     Akhirnya lokasi tempat Festival telah ditentukan, hanya berjarak 1 km dari pusat kota. Betempatkan di Lapangan tembak Militer, kami mengadakan Festival dalam 3 hari, 1 hari lebih lama dari sebelumnya. Syaikh Hamdullah memberiku satu tantangan yang dimana jika pengunjung bisa mencapai 100.000 orang lebih, aku akan berhenti jadi Ketua pengurus OSIS dan bisa berganti sesuai kemauanku.
“Semoga acaranya meriah ya, Fik,” Aira berada di sampingku, nyaris dekat sekali namun terhalangi oleh sebuah kursi.
“Alhamdulillah, berkat bendaharamu juga sih. Aku usdah tak tahu apa yang harus dilakukan jika bendaharaku yang mengurusi semua itu,”
     Tiba-tiba Aira mendekatiku dengan sangat cepat, sampai-sampai kursi yang tadinya berada di dekatku jatuh begitu saja. “Fik, sebenarnya,”
“Apa ya?” aku hanya berlagak lugu.
     Tiba-tiba Kak Sabrina datang dari depan, dan wajahnya begitu kaget, sama halnya dengan wajahku. “Eh, ada apa ya kak?”
“Gak jadi kok, lanjutkan saja yang barusan.”
“Ih, apaan sih Sabrina,” Aira meninggalkanku dengan wajahnya yang malu-malu.
     Aku membenarkan posisi kursi yang jatuh tadi, dan keluar menuju area panggung. “Kenapa kayak di anime Chuunibyou ya,” gumamku dalam hati.∑

Jejak Perjalanan : Negatif Dan PositifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang