Bab II

13 2 0
                                    

Suasana di rumah begitu membosankan, kegiatan sehari-hariku harus berubah karena Rian. Andai saja aku tidak mengikuti dia, andai saja aku tak pernah berteman dengannya. Ibu sudah terlanjur kecewa denganku, sekarang aku akaan dipindahkan ke pondok pesantren di dekat rumah kakek di Salatiga. Seluruh medsos milikku telah di blokir oleh Ibu, sehinggga aku tak bisa bermain lagi. Bukan hanya medsos, ponsel kesayanganku saja di sita hingga aku bisa berkelakuan yang lebih baik.
“Fik!” suara panggilan datang dari arah dapur. Bau aroma masakan tercium pekat dari arah dapur. “makan siang sudah siap, turun sebelum dingin,” timpal Ibu
“Iya, segera turun,” ketusku
     Meja makan terpenuhi piring-piring yang tertata rapi, dengan beberapa piring yang berisi beberapa hidangan yang dimasak oleh Ibu. Ibu muncul dari balik dapur, dengan memakai celemek kesayangannya yang bergamabar kucing. “Ayah mana dek?” Ibu melepas celemeknya dan menaruhnya di gantungan.
“Ayah masih di garasi, sepertinya sedang memperbaiki mobil paman Nao,” Jawab Kiki
“Memang kapan paman Nao kesini? Bukannya dia sedang berada di Kalimantan,” Ketusku sebal, karena tak ada makanan kesukaanya.
“Ibu pikir kemarin kamu melihat paman datan ke sini membawa oleh-oleh yang sangat banyak itu,” ujar ibu sambil menunjuk ke arah bungkusan kardus yang sangat banyak.
     Suara pintu terbuka, decitan menjadi khas pintu yang sudah berusia lebih tua dari Ayah. Seorang pria berbadan tinggi, dengan mengenakan kacamata hitam. Janggutnya yang tebal menjadi salah satu ciri khasnya. Pakainannya yang selalu sama setiap waktu membuatnya mudah untuk dikenal, bahkan saat pertama kali bertemju dengannya. “Paman!” Kiki berlari ke arah Paman Nao, wajahnya sangat gembira, seperti berkemilau beribu-ribu bintang terpancar dari wajahnya.
“Oh Fikri, kemarin kamu kemana saja. Paman menunggumu dari kemarin, ada sesuatu yang ingin Paman sampaikan,” Paman Nao mendekatiku, raut wajah Kiki berubah menjadi masam.
     Paman mengajakku ke garasi, Ayah sedang sibuk memperbaiki kap mobil milik Paman. Sepertinya Ayah sangat kesusahan sekali.
“Oy Agus, bagaimana kondisi mobilku saat ini, apakah sudah lebih baik?” tanya Paman kepada Ayah.
“Tenang saja Nao, semuanya sudah teratasi, kecuali tentang kap mobilmu yang sudah rusak ini.” Ayah tertawa kecil, lalu menutup kap mobil dengan sangat perlahan.
     Paman mengaitkan tangannya ke pundakku sebagai sandarannya, lalu berbicara sedikit demi sedikit. “Fik, dengarkan Paman. Paman sudah mendaftarkan kamu ke Pondok Pesantren Ihsanul Fikri, jaraknya sih hanya beberapa meter dari rumah kakek, jadi kamu tak perlu khawatir,” Paman lalu memanggil Ayah dari balik mobilnya, “Kak, coba sini bentar deh,” Ayah berjalan menghampiri paman dengan sangat santai, Ayah mengambil cangkir yang berisikan kopi yang berada di meja kerjanya terlebih dahulu lalu melanjutkan langkahnya.
‘Ada apa, bukannya aku sudah memberitahumu,” Ayah menikmati secangkir kopi hangat miliknya.
“Ini tentang Fikri, kau sudah tahu kan?” Paman melepaskan tangannya.
“Ah, tentang perpindahannya, soal itu seharusnya kau bertanya pada Nelisa, dia yang mengurusinya,”
“Ah, baik-baik,” Paman Nao terlihat begitu kesal dengan Ayah
     Paman mengajak Fikri ke depan rumah, menikmati indahnya danau dari beranda. Siska dan Anum bercanda gurau di ruang tamu, Paman mengakatan hal yang tak bisa dilupakan olehku, bibrnya mengucapkan beberapa kata yang biasa saja, namun dengan arti yang sangat mendalam. Aku hanya menganggukkan kepala, mulutku  tidak menggubris sama sekali.
“Ingat itu baik-baik, jangan pernah di lupakan.” Ujar Paman Nao

∞∞∞

     3 hari selepasnya, aku sudah mengemasi barang bawaannya  yang telah di tetapkan oleh pihak pondok pesantren, mulai dari baju, celana, buku, tas, dan lain-lainnya. Ayah ikut serta dalam mengemasi barang milikku, begitu juga Ibu. Siska ikut membantu sedikit, bereda jauh dengan Anum yang hanya bermain game DOTA setiap harinya.
“Sudah semuanya Fik, Ayah gak mau tahu jika ada barang yang ketinggalan jika sudah sampai sana,”
“Iya yah, lagipula barang bawaanku tidak banyak kok,”
“Oke, sekarang masukkan barangmu ke bagasi. Nanti jam 12 siang kita berangkat,” Ayah masuk ke dalam kamarnya. Disusul dengan hentakan pintu yang dibuat Ayah.
“Ibu masak dulu ya, jaga adikmu lo,” pinta Ibu kepadaku
     Fikri hanya mengangguk pelan, mengacungkan jempol kanannya. “baiklah,”
     2 jam berlalu dengan cepat, aku menaikkan barangnya ke dalam bagasi mobil, dibantu Paman Nao. Ayah bersenda gurau dengan Kiki di ruang tamu, sedangkan Ibu berada di sebelahnya. Aku menelpon seorang teman lamanya, Shin. Katanya ada hal yang perlu di sampaikannya sebelum aku berangkat, lantas kutelpon teman yang sudah kukenal lama itu.
“Gimana, sudah siap berangkat?” tanya Shin dari ujung telepon.
“Lumayan lah. Oh iya Shin, Ini sebenarnya tentang hal yang katanya kamu perlu sampaikan saat aku pergi, ada apa emangnya?,”
“Jadi kamu masih ingat ya Fik,”
“Iyalah Shin, masa aku lupa sama sahabatku sendiri,” tawa kecil lepas dari mulutku.
“Begini, ada sepupuku yang kebetulan sekolah di sana, namanya Hendra. Jadi dia itu orangnya Anti-sosial banget, jarang keluar rumah,”
“Sebentar, jadi kamu ingin aku jadi temannya sepupumu itu?”
“Ya, sekiranya begitu deh,”
“Baiklah, aku juga takkan menolak. Ini semua juga berkat dirimu, aku bisa berubah Shin,’
“Ayolah, ini semua bukan tentang di~,”
     Telpon terdengar sunyi, layar ponsel milikku mati.Aku masih menantikan jawaban dari Shin. Raut wajahku tampak kesal, tiba-tiba Kiki menghampiriku dengan membawa sebuah buku milik temannya itu.
“Lho, bukannya ini milik Kak Shin? Kenapa buku ini ada di tanganmu?” aku mengambil buku itu dari genggaman adiknya.
“Tadi, aku ketemu kak Shin di taman, katanya saat itu ponsel kakak mati, jadi nggak bisa di hubungi,”
“Jadi ini yang sebenarnya Shin mau katakan,” gumamku dalam hati, “ternyata kau hanya ingin memberikan sesuatu agar aku tidak melupakanmu, dasar Shin,” wajahku memerah, Kiki pun memukul pelan perutku sambil tertawa.
“Sudah kak, ditunggu Ayah,” Kiki menunjuk Ayah yang berada di dalam mobil.
    Kepala Ayah keluar dari jendela mobil, tangannya melambai ke arahku. Wajahnya tammpak murung sekali.
“Ki, jaga rumah ya. Jangan jadi nakal saat kakak gak di rumah, si Nino di kasih makan sehari dua kali, jangan lupa.”
“Iya kak Fikri, lagipula sekarang kan ada bibi yang sering jagain Kiki.” Kiki menunjukkan senyumannya. “sekarang Kiki sudah berubah, jadi Kak Fikri tidak usah khawatir.”
“Masih ingat kan janji kakak?”
“Janji apa?” wajahku berpaling, menahan tawanya yang akan lepas begitu saja.
“Tuh kan,” Kiki memukul-mukul badanku, sambil menunjukkan raut wajah gembira bercampur sedih, “i..itu lho,”
“Iya, kakak gak akan pernah lupa kok,”
     Kiki mengacungkan jari kelingkingnya, menekuk tangannya. “Janji,” aku mengacungkan jari kelingkinnya juga, “Janji,”
“Fik! Nanti telat loh, cepatlah. Jangan membuat Ayahmu yang sudah tua ini menunggu,”
     Aku mengangkat tas punggungnya, lalu menaiki mobil Van yang sudah tua itu.∑

Jejak Perjalanan : Negatif Dan PositifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang