Bab IX

4 1 0
                                    

Asrama dikunci pukul 6 pagi, semua santri harus meninggalkan asrama dalam keadaan rapi dan bersih. Aku lagi-lagi meninggalkan tugas yang diberikan Ustadz Budi, alasan yang sudah beberapa kali kugunakan rasanya tidak mempan lagi.
“Fikri, mana tugasnya? Yang lainnya sudah mengumpulkan,”
     Wajah seimut mungkin aku buat, namun tak akan bisa menandingi imutnya Izumi Sagiri. Mukaku hanya terlihat konyol saja di depan Ustadz. “AMBIL TUGASMU! Ini kuncinya,” aku menerima kunci asrama itu dengan senang hati, paara teman lainnya yang sudah reuqest sebelmunya ta akan kulupakan. Bermodal alibi anak OSIS, kunci asrama berhasil kutaklukan.
“i..iya, 5 menit kok,” aku berlari, di tangga aku hampir saja terjungkal.
     Aku masuk ke kamar, kamar begitu rapi sekali saat Andi yang bertugas piket. Aku menacrinya ke lemari, dan ada tepat di atasnya. Aku mencoba meraihnya dan 2 lembar kertas jatuh, aku mengambil kertas tugasku dan menatap kertas satunya lagi.
“Hmm....kertas apa ini?” aku memungutnya dan membacanya sekilas. “aduh, harus cpet-cepet nih,” tak sadar kertas itu aku masukkan ke kantong bersama kertas tugas.
     Aku berusaha matimatian berlari sekencang-kencannya menuju Gedung Sekolah, jaraknya yang hampir 500 meter bisa membuat pahaku bengkak. Saat menuju  gedung, Ustadz Budi sudah menungguku di pos, ia sedang bersama seorang Milyader, mungkin. Setelan jas elitenya, dibalut jam tangan Roler yang dibandrol kisaran 5 jutaan. Dibelakangnya terparkir mobil Ferrare tpie 23H, berkecepatan 100 km per jam. Ustadz sepertinya sedang dalam masalah yang agak sulit, aku mencoba menghampirinya.
“Ustadz, ini kuncinya,” aku memberikan kuncinya itu, dan langsung diambil sekejap mata.
“Jadi inikah orang yang berhasil membuat Festival Ponpes ke-4 iniberjalan dengan sangat spektakuler?” orang itu menunduk karena saking tingginya, ia menatapku dan membuka kacamata hitamnya. “perkenalkan, aku Alex dari ICom. aku dan Budi punya masa yang sulit untuk dilupakan,”
     Aku mengerutkan dahi,“Icom? perusahaan yang membuat engine untuk game itu?”
“Betul sekali,”
“Jadi, apa urusannya bapak datang kesini? Atau perlu  saya panggilkan Syaikh Hamdullah?”
     Orang itu menolak mentah-mentah, wajahnya menunjukkan adanya dedikasi untuk melakukan balas dendam kepada Ustadz.
“Jadi tidak perlu?”
“Tidak, aku hanya ingin berbicara kepada Budi saja, dan aku akan pergi.”
     Sebenarnya aku tidak mengerti latar belaakng dari orang ini, namun sepertinya mereka bersahabat. Aku berbisik kepada Ustadz, bafaimana jika Syaikh dpanggil disini. Ustadz pun langsung setuju, tak biasannya ia menyutujui permintaan orang.
“Kalau begitu, maaf ya Om. Saya pamit dulu,” aku berlari meninggalkan mereka.
“Woy!! Jangan seenaknya manggil Om ya, awas kamu!!!!”
     Ustadz bersikap jadi sok cool, tangannya disingkap di dada. “aku sudah tidak mau mengantarkan barang itu lagi. Aku sudah menemukan hidup baruku disini, menjadi pengasuh sekaligus Ustadz bukanlaah hal yang buruk,”
     Alex membuka pintu mobilnya, tepat sebelum Syaikh datang bersamaku. Syaikh melihatnya, dan langsung berlari mengejar Alex. “Alex!! Tunggu!” Alex melihat Syaikh berlari menujunya, ia langsung panik dan menggegas mobilnya. Syaikh tiba disana dengan tangan kosong, Alex sudah pergi edngan mobilnya.
“Kemana perginya Alex?” tanya Syaikh kepada Ustadz Budi, wajahnya begitu khawatir.
“Jangan khawatir Syaikh, Alex tidak pergi kemanapun. Hanya pulang ke Villa nya.” Ustadz Budi meneangkan Syaikh, menepuk-nepuk punggungya.
     Aku mendekati Syaikh, sepertinya ia kehilangan orang yang berharga baginya. Bajunya tampak kusut karena berlarian, masalah yang disembunyikan oleh mereka berdua. “KRIING!!” bel asrama telah berbunyi saat jarum jam menunjukkan angka 5 pas. Ustadz Budi melihat arlojinya, dan mengeluarkan sebuah kunci besar dari saku celananya.
“Fik, ustadz minta tolong sama kamu, tolong buka Asrama dengan kunci ini. Setelah itu kamu bawa kuncinya dan nanti Ustadz ambil.” Ujarnya sambil menyerahkan kunci asrama di tangannya.
“Iya Ustadz,” aku berlari menuju asrama dengan sekuat tenaga.
     Syaikh digendong oleh Ustadz Budi yang tingginya hampir sama, ia dibawa pergi ke ruang Kepala Pondok. Di jalan ada Ustadz Shodiq yang lewat, melihat Syaikh yang tak seperti biasanya, Ustadz Shodiq menghampirinya.
“Syaikh kenapa?” tanyanya kepada Ustadz Budi.
     Ustadz Budi membisikkan sesuatu ke telinga Ustadz Shodiq, wajahnya tercengang. Tangannya sangat bergemetar.
“Saya antar ya?” Syaikh hanya mengangguk menanggapi Ustadz Shodiq.

Jejak Perjalanan : Negatif Dan PositifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang