Belakangan ini, kehidupan di pondok sangatlah kritis. Masalah uang, baju, makan, dipermasalahkan setiap hari. Tidak seperti yang lainnya, mungkin hal itu tak akan dipermasalahkan bagi orang-orang diluar pondok pesantren. Mereka akan meminta kepada orang tuanya, merengek untuk dibelikan. Rasanya untuk anak SD hal seperti itu sangat wajar, tetapi untuk anak SMP hal seperti itu bisa dibilang sangat, sangat jijik. Mungkin jika kita melihat anak seperti itu akan kita musnahkan dari muka bumi ini, bercanda tapi lah.
“Ngelamunin apa Fik?” reflek wajahku berubah kaget karena tiba-tiba Andi menepuk pundakku dari belakang, terlebih lagi mukanya yang habis mandi tapi sabun mukanya belum dibilas, seperti Pocong saja.
“Enggak kok, aku lagi belajar buat ulangan besok,”
“Besok ada ulangan?” tiba-tiba saja Andi mendekatiku, tangannya mendorongku ke tembok.
“Bahasa Inggris kan?”
Andi mengambil buku d lemarinya, mengacak buku-bukunya itu dengan sangat garang. “Akhirnya ketemu juga,” lalu Andi naik ke kasurnya sambil membaca bukunya sambil tiduran.
“Aneh,” tatapanku melirik sedikit ke arah Andi, lalu kembali lagi ke arah buku.
Suasana di kelas sunyi, semua orang pergi ke kantin di jam istirahat ini. Aku hanya duduk manis di meja membaca seri novel KONOSUBA sambil ditemani Andi yang sedang belajar Bahasa Inggris. Blazer yang dikenakannya membuat Andi terlihat seperti anggota OSIS, namun tak semua teman sekelas menganggap Andi sebagai ketua kelas, mereka berbuat sendiri dan hanya menurut kemauan mereka.
“KRIIING!!!” Bel berbunyi menandakan jam istirahat telah selesai, aku meletakan novelku ke dalam laci meja. Teman-teman lainnya berlari kesana-kemari, menuju ke aarah kelas. Bu Siska terlihat dari arah barat, dan semuanya langsung terdiam seperti orang yang membatu. Bu Siska memasuki pintu, meletakkan tasnya di atas laptop dan mengeluarkan beberapa lembaran putih dari tasnya.
“Kali ini kita ujian Bahasa Inggris, masukkan benda yang ada di atas meja ke dalam laci. Hanya ada pulpen di atas meja,”
Seuanya langung mematuhi, tangan bergerak cepat mengambil barang-barang yang ada di atas meja, dan hanya menyisakan pulpen di atas meja. Bu Siska berjalan mengitari kelas dan membahgikan lemaran Ujian Bahasa Inggris, Wajah semuanya terlihat sangat pucat, mirip seperti Mayat Hidup yang ada di film.
Satu per satu membalikkan lembaran ulangan itu, lalu mulai mengambil lembaran di dalam laci. Aku tahu bahwa itu adalah tindakan yang sanga merugikan, mencontek adalah hal yang sangat tidak patut untuk dilakukan. Dan orang yang mencontek biasanya orang-orangnya hanya itu itu saja, tidak ganti-ganti. Dan seperti biasa bu Siska melakukan pegintaian dengan mondar-mandir di dalam kelas, Dino yang sempat mengambil lembar contekan dari laci langsung direbut oleh bu Siska dan langsung disobek di tempat serta lembaran ulangan milik Dino diambil lagi.
“Semuanya yang membawa lembar contekan harap kedepan, kalu tidak malah ibu sobek nanti,” ucap bu Siska dengan nada kesal dan marah.
Razia ini pin berakhir, semuanya menyerahkan lembar contekan ke bu Siska, berharap nasibnya tidak seperti Dino. Bu Siska menyimpan lembar contekan yang diterimanya, tanpa menyobeknya dan mengambil lembar ulangan. Suasana kelas kembali sunyi, dan hanya suara goresan pulpen terdengar.
Satu dua orang masih terlihat memegang lembar contekan, dan itu adalah Raka dan Vian. Dua orang anak yang memang terlihat seprti anak berandalan, suka melanggar peraturan dan berbuat onar. Andi yang melihat itu langsnung berdiri, dan melihatkan sikap sempurna. Aku yang terkaget melihat Andi menarik ujung lengannya, menyuruhnya untuk duduk. Andi menolak untuk duduk kembali, matanya hampir melotot keluar.
“Ssst, kamukan sudah tahu resikonya kan?” aku berbisik sangat pelan, dan kembali menarik lengannya Andi.
“Ssst, biarkan,” Andi melepaskan tanganku, dan masih berdiri.
Teman-teman lainnya terpaku dengan Andi, Raka dan Vian malah menggunakan kesempatan ini untuk mencontek. Bu Siska bangkit dari mejanya, dan menghampiri Andi.
“Ada apa Andi? Perasaan Ibu sudah membuat soal ini dengan sangat mudah,”
“Raka dan Vian masih memiliki lembar contekan itu bu,”
Alhasil Raka dan Vian kaget bukan main, lembar contekan itu dilepaskan begitu saja hingga terbang ke arah tepat di depan mata bu Siska.
“Jadi kalian masih ingin mencontek ya, sinikan kertas kalian, ibu sobek,”
Lembar ulangan Raka dan Vian ibu Siska sobek, Raka dan Vian hanya terdiam menyaksikan semuanya, dendam menguap kepada Andi. Saat semuanya kembali normal, Raka dan Vian menatap tajam Andi, aku hanya melihatnya. Kata-kata terlontar dari mulut keduanya, “Awas saja kamu,”∞∞∞
Selang 2 hari setelah kejadian itu, Raka dan Vian diberi sebuah tugas unuk mengemban amanah Syaikh Hamdullah. Yaitu adalah menjadi petugas bersih-bersih Pondok Pesantren. Namun tak hanya sampai di situ, kemarin malam Raka dan Vian hampir saja baku hantam dengan Andi, hanya saja saat itu ada Ustadz Budi yang melerai mereka.
Sepekan lagi ujian, aku lebih sering meminta Andi untuk mengajariku Matematika, pelajaran yang sering aku lewatkan. Andi mau mau saa mengajariku, dengan satu syarat tetap yaitu meminjamkan buku seri novel Konosuba milikku. Persyaratan yang sangat cukup mudah saja.
Hari ini libur, hari ahad yang sangat tenang. Kamar terlihat tenang, bagus untuk membaca. Namun tiba-tiba suara pintu terbanting keras, dan seseorrang muncul dari baliknya.
“Hmm, ngapain kalian ke sini,” aku melirik sedikti ke arah Raka dan Vian.
“Andi, Andi mana?”
“Memang kalian ada urusan apa sama Andi, bukannya urusan sudah selesai,” hanya melanjutkan membaca, tanpa menghiraukan seikit pun.
“Engg, jadi kami mau belajar sama Andi,”
“Apa!” aku terkejut, dan membanting Novelku.∑
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Perjalanan : Negatif Dan Positif
Ficção GeralKisah tentang mencari arti dibalik 'pesantren'