“Guaaah!!!” suara erangan kesakitan terdengar sampai ujung lorong, Aku dan Raka berdiri menyaksikan temannya Ian terduduk kesakitan. Beberapa pukulan meluncur lagi dari tangan Raka.
“Ka..udah, kasihan Ian. Sepertinya dia udah kapok,” ujarku dengan tatapan membisu. Raka pun menyisakan beberapa sentimeter sebelum tangannya mengenai pipi Ian. “balik aja, udah mau gelap nih.” Matahari mulai tenggelam, lampu lorong kini mulai dihidupkan. Tiba-tiba suara derapan kaki terdengar jelas dari arah pintu utama. Raka mencoba menggotong tubuh Ian, namun ia terlihat kelelahan. Lagi-lagi mulutku hanya membisu melihat temannya, mulutnya membeku seperti telah dijahit. Gagang pintu diputar ke belakang, kini wajah Raka tampak tegang, kakinya mencoba untuk berdiri, namun aku masih membisu di tempat.
“Woy, kalian lagi ngapain di sini!” seorang satpam sekolah berteriak dari ujung lorong, sontak membuat Raka megambil langkah seribu menuju pintu belakang. Satpam itu tak menghiraukan Raka, namun malah mendekatiku dan Ian. ‘Kamu, kamu gak apa-apa kan?” satpam itu mencoba mengangkat tubuh Ian yang kesakitan.
Sebuah pesan muncul dari layar ponselku.
Ibu : Fik, kamu dimana nak? Ibu nungguin lama nih. Adikmu tadi keluar untuk nyariin kamu.
Fikri : Fikri baik-baik aja kok. Lagian Fikri masih ada kegiatan klub di sekolah.
Ibu : Oh, kalau ketemu adikmu suruh pulang ya. Inget, jangan malam malam pulangnya.
Layar ponselku berubah menjadi gelap, nada dering “Kimi No Na Wa” terdengar sayup.
“Kamu gak apa-apa dek?” satpam itu mencoba mendekatiku, langkah tertatih tatih satpam sambil membawa Ian di sampingmya. Mulutku terbuka sedikit demi sedikit, tanganku begitu gemetar sehingga aku pun tak dapat menahannya. Satpam itu menggenggam kedua tanganku hingga tak bergetar sedetik pun.
“Ikut bapak ya,” satpam itu mengulurkan tangannya ke arahku, tanganku menerimanya dengan sangat cepat. “bisa jalan?” tanya satpam itu.
Aku hanya mengangguk-anggukan kepalanya, tanpa berbicara lagi. “Yasudah, ayo,” satpam itu menarikku dengan sangat cepat menuju pintu utama. Aku sampai ingin terjatuh ke lantai.∞∞∞
“Pak, bukannya pintu utamanya di sebelah sana?”
“Iya dek, kan pintunya dari dulu memang di sana,” cetus pak satpam sambil tertawa kecil, “kita mampir dulu ke ruang kepsek,”
Aku mengerutkan dahinya, tanda tanya besar muncul di pikiranku. Langkah kakinya terhenti sebentar karena rasa gelisa menjalar ke seluruh tubuh, hatiku berdetak kencang. “eh, kenapa ya pak saya harus ke ruang pak kepsek?”
“Ya, pertanyaanmu akan terjawab nanti,” ujar pak satpam
Pintu ruangan terbuka, suara decitan terdengar walaupun hanya sesaat. Kepala Sekolah SMP N 1 itu berdiri di tengah-tengah ruangan sebesar 5x5 itu. “Ehm, kamu duduk di sini,” ujar pak kepsek.
“Itu, duduk,” pak satpam menyenggol tangan kananku.
Tanganku mengambil kursi yang ada di depan meja kepala sekolah dengan sangat hati-hati, lalu duduk di atasnya. “ada keperluan apa ya pak?”
Pak Haryanto, atau yang sering di panggil Pak Har adalah kepala sekolah SMP N 1 Magelang ke-38. Pak Har adalah orang yang tegas, dan tentunya sangat berwibawa di depan guru-guru lainnya dan para murid-murid. Salah satu khas yang terdapat pada Pak Har adalah cara berbicaranya yang sangat berbeda, dan sangat sering memakai blazer yang bertuliskan “Ganbatte” di atas papan namanya.
Pak Har menyilangkan tangannya, “kamu ingat tentang kejadian tanggal 26 kemarin?”
“Tanggal 26? Bukannya itu hari senin kemarin ya pak?”
“Iya, saat itu, ruang komputer sekolah kehilangan 1 buah unit komputer. Kemungkinan seorang murid dari sekolah ini ada yang mengambilnya,”
Hatiku berdegup lebih kencang, “Ke..kenapa bapak langsung menyimpulkan bahwa yang mengambilnya adalah salah satu dari siswa SMP ini?”
“Pak Dul, tolong perlihatkan rekaman CCTV yang kemarin,” pinta Pak Har kepada Pak Dul, sekertarisnya. “Ini adalah rekaman dari CCTV di depan ruangan komputer, jam rekaman menunjukkan pukul 2 malam. Lihatlah 2 orang yang tiba-tiba muncul dari arah pintu belakang sekolah, mereka adalah siswa SMP ini”
“Kok bapak bisa tahu?” aku pun memicingkan matanya.
Mataku menatap ragu ke arah layar monitor CCTV itu,“Kenapa bapak bisa tahu?” Sekarang Pak Har menatap dengki kepadaku, badannya mencondong ke arahnya. Aku lantas mengerutkan dahin sambil menelan ludah yang ditahan dari tadi.
“Kamu tanya kepada saya darimana saya tahu bahwa dua anak ini adalah siswa SMP ini?” Pak Har kembali duduk di kursinya, “ini bukankah kamu, Fikri?” ujarnya sambil menunjuk ke arah siswa yang mengenakan hoodie hitam bermotif loreng-loreng. Kamera CCTV mengambil rekaman saat aku dan temanku mencoba membobol gembok dari pintu ruang komputer. Wajahku terlihat ragu dan sungkan untuk melakukan aksinya, matanya melihat kesana kesini mengamati keadaaan seiktar, sedangkan temannya itu membawa sebuah linggis untuk membuka gembok itu.∞∞∞
“Fik, cepat! Jangan melamun terus, keburu satpamnya dateng nih,” Ujar Rian dari balik pintu
Kakiku berlari mendekati Rian yang sudah berhasil membuka gembok itu, membawa obeng di tangan kananya sedangkan tangan kirinya membawa tas jinjing hitam. Aku masuk ke dalam ruang komputer, sekitar 20 komuter tersusun rapi berjajar-jajar. “komputer yang mana nih.”
Rian terlihat sibuk mempreteli CPU komputer, terlihat perkakas bercecer di mana-mana. Motherboard diambil dari CPU, lalu Rian mencoba mengambil Processor dari komputer itu untuk di bawa. “Udah belum Fik, waktu kita tinggal setengah jam lagi nih,”
“Oke, tenang aja, dua Processor udah di ambil nih.” Ujarku dari pojok ruangan.
Suara langkah kaki terdengar dari ujung lorong, aku dan Rian sudah menyadari ada satpam yang sedang patroli. “Fik, ambil CPU-nya.”
Aku pun tersontak kaget atas permintaan Rian, “CPU satu unit? Semuanya!?”
“Iya, biarin aja. Walaupun kita Cuma mengincar Processor-nya,” pinta Rian kepadaku.
“Oke, aku ambil,” Ujarku sambil menyopot kabel yang tersambung dari CPU.
GRUBAK!!! Suara barang jatuh terdengar dari arah Rian, sebuah monitor terjatuh dan mengenai kepala Rian, dan tentunya suara itu mengundang heran satpam itu.
“Woy, kalian ngapain di sini!” Satpam itu sudah berada di depan ruang komputer.
Aku berlari dan menggenggam tangan Rian. Satpam sudah bersiaga di depan, namun aku tak kehabisan akal. Tanganku melempar sebuah Motherboard ke arah satpam itu, seketika satpam itu tergeletak di lantai. “Ayo,” Ujarku sambil membawa CPU dan Rian di kedua tangannya.
“Ka..kalian, kalian tak akan bisa lo..los da..dariku,” tangan satpam itu menggenggam kaki kananku, sontak aku terhenti langkahnya. Kakiku menghentak-hentakan ke arah tangan satpam itu.
“Pakai ini,” Rian menyodorkan sebuah bubuk dari tangannya.
Aku mengambil bubuk itu dari tangannya Rian, lalu melemparkannya ke arah wajah satpam itu, GAAH!!!!! Erangan terdengar dari satpam itu saat bubuk yang dilemparkan berhasil mengenai wajahnya. Saat satpam itu mengerang kesakitan, aku berhasil lolos dari tangan yang menggenggamnya. “lewat mana nih, kayaknya semain banyak satpam yang patroli,”
“Lewat gerbang belakang aja, semoga gak ada satpam yang patroli di sini,” jawab Rian sambil terengah-engah
“Oke, pegangan ya,” Ujarku gelisah.∞∞∞
“Hey, Fikri, Fikri,” Pak Har membuyarkan lamunanku, tiba-tiba Pak Har mengambil sebuah kartu yang sepertinya Fikri kenal. “Ini kartu Pelajarmu kan?”, aku hanya menganggukan kepala, lalu Pak Har menanyakan sebuah pertanyaan yang membuatku terkejut, “temanmu yang ikut denganmu itu Rian kan?”
“Eh....bapak tahu darimana??” aku mengerutkan dahi. Pak Har menyilangkan tangannya, “Bapak sudah tahu semuanya,”∑
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Perjalanan : Negatif Dan Positif
Fiksi UmumKisah tentang mencari arti dibalik 'pesantren'