Sehari sebelum ujian, kali ini menentukan akankah naik kelas ataukah tetap tinggal. Bagi yang sudah akrab dengan adik kelasnya akan tetap milih tinggal kelas, karena apa, karena mereka sudah kenal kakak kelas dan ingin lebih lama hidup dalam perdagangan gelap. Tapi itu bukanlah suatu tujuan hidup, di pesantren malakin adik kelasnya, bikin emosi pengasuh. Tetapi hal itu memang tidak bisa dihindari. Namun sebagai ketua OSIS yang baik hati dan tidak sombong, aku bisa sedikit mengurangi itu berkat bantuan Rian.
Hari ahad ini akan menentukan perjuanganku esok hari, aku ditemani Andi di dlam kamar. Suasananya seperti biasa hening, saking heningnya suara jangkrik bisa menyamai suara dangdut yang super menggelegarkan jiwa.
“Yang ini jawabannya apa, sumpah gak mudeng banget,” aku menggaruk-garukan kepalaku, bukan gatalnya tapi karena saking panasnya tensi otak.
Andi melihat bukuku, wajahnya tertawa entah begitu saja. Ia tergeletak dan masih tertawa di lantai, “yang bener lah, temen mau belajar malah diketawain,”
“Maaf atuh, habisnya jawaban yang bisa anak SD kelas 5 kerjain masa kamu gak bisa atuh Fik,” Andi masih tak bisa menahan tawanya.
Aku membolak-balikan buku yang super tebal itu, aku memelototinya hingga mataku mengeluarkan air mata. Andi menunjukan bagian dimana aku bisa mengerjakannya, katanya hampir sama dengan pelajaaran yang disampaikan bu Heni kemarin.
“Gini lah sebagai teman, mengajrakan satu sama lain,”
“Emang kamu pernah ngajarin saya apa atuh?”
“Gak pernah lah, emang kamu butuh ajaran,”
Andi memukul perutku, “ye, emang saya kayak situ. Dikit-dikit minta diajarin,”
“Ampun, wahai guru,” aku sujud ke Andi, entah apa yang membuatku kesambet sampai seperti ini, namun tampaknya Andi senang bisa dipuji seperti itu.
“Allahu Akbar Allahu Akbar,” adzan dhuhur telah berkumandang, sekarang aku sudah terbiasa gerak cepat seelah mendengar adzan. Tidak seperti sebulan kemarin, masih bau bawang.
Aku berlari keluar, meninggalkan Andi di dalam, sendal milikku dan milik Andi kubawa, berjaga-jaga agar Andi mau mebangunkan mereka semua.
“Bangunin dulu baru sendal, aku tunggu di depan,” aku berlari turun tangga, Andi memasang muka sebal. Kelihatannya aku harus belajar sendiri nanti, tanpa bantuan Andi.∞∞∞
Fajar telah menyingsing, terdengar ayam berkokok dari ujung. Kami sudah berisap melaksanakan ujian akhir semester ini, akhir dari perjuangan? Sepertinya masih banyak yang harus diperjuangkan disini. Kami menunggu gerbang asrama ditutup, karena kebiasaan kami adalah datang terakhir, mengapa? Kami pun tak tahu alasan tersendiri, namun enak saja dilakukan.
Pelajaran pertama bahasa Indonesia, pelajaran yang sangat mudah namun sangat ekstrem. Walaupun jarang memperhatikan saat pelajara bahasa Indonesia, nilaiku paling diatas rata-rata kelas. Yang biasanya 8, aku 9. Beda 11 12 lah.
“Pimpin do’a, semoga kalian diberi keberkahan dalam mengerjakan soalnya. Dan yang mencontek, itu bukan urusan kalian dengan guru, melainkan urusan kalian dengan Allah,” tutur Bu Fita sebagai pengawas kelasku yang pertama kalinya, kami duduk diam sampai soalnya dibagi.
“KRIIING!!” Bel pertama telah dimulai, artinya kami sudah boleh mengerjakan ujinanya. Suasana kelas cukup tenang, tak seperti sebulan atau dua bulan sebelumnya, saat Rian masih menjadi anak bandel, super bandel. Lirikan mautku ditujukan untuk mengawasi yang mencontek, bukan malah ikutan mencontek. Walupun aku pernah punya reputasi hitam, aku sama sekali tak pernah mencontek.
“Waktu habis, silahkan kumpulkan jawaban kalian ke depan,”
Salah satu temanku berdiri, namanya Kevin, ia memang jarang kesorot dalam kehidupan kelas apalagi kehidupan asrama. “kan belum bel bu,” sesaat setelah Kevin mengatakan itu, bel kedua berbunyi, menandakan waktu ujian telah berakhir.
“Itu sudah,”
Kevin duduk kembali, ia hanya bisa menerima kenyataan apa adanya. Semuanya mengumpulkan lembarannya termasuk Kevin, sebelum lembaran itu berubah menjadi sobekan kertas.
“Kalian boleh keluar, tapi saat bel berbunhi lagi, kalian harus masuk kelas. Kalu tidak nilai kalian berubah menjadi telur angsa,”
Aku pergi ke masjid untuk sholat dhuha, Andi yang mengajakku. Ia sering sekali sholat dhuha, pernah sekali-kali ia mengajakku, namun kutolak dengan alasan “lagi sibuk OSIS”.
“Jadi nggak atuh? Atau mau saya tinggal dulu?”
“Tinggal aja dulu, aku nyusul,” Andi meninggalkanku, dan aku sendirian di kelas.
Banyak lembaran yang harus diselesaikan, laporan, berkas sekolah, harusnya ini kuserahkan kepada sekertaris, namun entah kenapa sekertarinya kesambet sesuatu. Ia sakit dan tidak bisa beraktifitas dengan normal.
“Tinggal aja dulu, semoga lancaar!” aku menaruh berkas-berkas itu di atas meja guru, dan meniggalkannya begitu saja.∞∞∞
Sepertinya ujian tak terasa, mungikn sangat berat belajarnya, namun saat mengerjakannya terlihat seperti bermian fappy bird dengan menutup mata. Mata pelajaran terakhir sudah dikerjakan secara bersama-sama, maka dengan itu ujian telah berakhir. Namun dengan berakhirnya ujian tidak akan mengurangi masalah hidup. Yang ada masalah tambah berat ketika emak mengetahui nilai ujian kita jelek, world war 3.
Beberapa hari menjelang libur akhir semester, namun dijeda waktu itu masih banyak cerita yang dapat dicetak disini. Kami baru saja keluar dari ruang tes, mapel bahasa jaawa menjadi penutup dari semua tes kali ini. Andi yang notabene bukan orang jawa malah lebih lancar mengerjakannya dariku, sungguh sad hidupku.
“balik Fik, ngantuk,”
“bentar, aku ngasih ini ke bu Gina dulu, kamu duluan gih,”
Andi membuka pingu kelas, dan membawa sepatunya. Sekarang tinggal aku sendirian dikelas, menyendiri, memang beban OSIS cukup berat untuk ditanggung sendiri. Aku bersiap-siap balik ke asrama, namun sepatuku entah perginya kemana. Kerjaan Andi nih, balas dendam, batinku dalam hati.
“Fik,” suara Andi memanggilkku dari bawah, ternyata Andi menungguku dari depan gedung guru, sepatuku di bawa olehnya.
Aku segera turun, perlahan namun pasti. Andi mendekatiku, dan melemparkan sepatuku kearahku, “Semangat dong,” kami berjalan bersama dibawah terik matahari.∑
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Perjalanan : Negatif Dan Positif
General FictionKisah tentang mencari arti dibalik 'pesantren'