Jam 8 malam, seharusnya kami meninggalkan asrama untuk belajar, tetapi para ustadz menyuruh kami untuk berkumpul di halaman asrama. Speaker menyala keras, suara ustadz Budi menyeru dari speaker. Hitungan dimulai oleh ustadz Budi, para santriwan keluar dari asrama dengan lari terbirit-birit.
“Satu! Dua!” jedanya semakin tak ada, terlihat wajah ngos-ngosan para santriwan yang baru saja keluar dari asrama. “Sembilan! Sepuluh! Yang melewati pintu ini dianggap telat,” Ustadz Budi keluar dari ruang Pengasuh, danberjalan menuju depan asrama.
“Hukuman lagi? Perasaan banyak banget yang dihukum belakangan ini,” Ujar Andi berbisik-bisik.
Lautan Santri memenuhi halaman asrama, semuanya sibuk berbisik dengan temannya sendiri, adapula yang menahan kantuknya yang terpendam. Angin malam menyejukkan suasana, tanganku menggigil gemetar kedinginan. Ustadz Budi membawa sebuah rotan kayu yang panjangnya hampir seukuran tubuhnya, memukul-mukulkan rotan itu ke lantai. Di belakangnya terdapat ustadz Iman yang terlihat baru saja bangun dari tidurnya. Suara bising menyertai hawa dingin, terlihat ustadz Budi mengambil ancang-ancang nafas yang panjang.
“SEMUANYA KUMPUL PER ASRAMA!! DALAM HITUNGAN SEPULUH!”
Semuanya lari kocar-kacir seperti semut, Ustadz Budi tetap melanjutkan hitunganya. Saat hitungan hampir mencapai angka 3, semua santri sudah tertata rapi seperti brisan para tentara. Namun wajah ngantuk mereka tak akan membuat Ustadz Budi berbaik hati kali ini. Rotan pun dihentakannya di atas lantai. Wajah ngantuk itu seketika hilang, tergantikan oleh wajah takut nan gemetar.
“Besok, Kalian semua boleh melakukan Perizinan keluar Komplek Pondok Pesantren,”
“HOOREE!!!!” Sorak sorai terdengar jelas dari para Santri, akhirnya mereka bisa melepaskan penatnya selama 1 bulan di sini. Teman satu dengan lainnya bertepuk tangan, rasanya hampir sama dengan perpisahan, namun sangat jauh berbeda.
Ustadz Budi melepaskan rotan itu dari tangannya, begitu bahagianya melihat para santri bergembira atas apa yang telah mereka lalui. Suka dan duka telah berganti, saling menumpuk bagaikan embun salju. Mereka hampir tak kenal lelah belajar 24 jam, membagi waktu, dan bersosialisasi.
“Akhirnya, waktu yang sangat kudambakan datang juga,”
“Walaupun sekeras apapun kita disini, pertemanan selalu menjadi obatnya. Betul gak Fik?”
“Ya, kali ini aku setuju denganmu,”∞∞∞
Senja mulai menampakkan diri, Matahari terbelah mejadi dua. Langit abu-abu mulai muncul menggantikan langit cerah, jam dinding asrama menunjukkan pukul 5 sore. Mobil berdatangn dari luar, sepertinya itu adalah mobil para santiwan dan santriwati yang baru saja melakukan perizinan keluar. Lalu lintas jalanan Pondok begitu padat, apalagi jalan yang begitu sempit. Petugas Piket asrama menunggu di depan asrama, meja tertata rapi dan diatasnya perengkapan untuk perizinan keluar. Kartu yang menjadi izin untuk keluar di tata dalam sebuah box plastik.
Mobilku berhenti di halaman asrama. Aku berpamitan dengan ayahku dan adikku, ibu tidak mengantarkan aku pulang karena pesanan katering miliknya yang masih menumpuk bagaikan gunung everest.
“Ayah pamit Fik. Hati-hati ya,”
“Ya,” aku melambaikan tanganku, senyum muncul dari wajahku.
Aku masuk pintu asrama, di sana aku disambut oleh Ustadz Imam. Ustadz Imam mengambil kartuku, lalu menyuruhku bergegas kembali ke kamar untuk persiapan sholat maghrib.
Andi dan Hasan sedang bersenda gurau di dalam kamar, sedangkan Wildan sedang menatap isi lemarinya. Tak ada yang tahu hawa keberadaanku saat aku masuk ke kamar, semuanya masih sibuk dengan apa yang dilakukannya sampai tiba-tiba Andi menepuk pundakku.
“Fik,”
Wajahku terkaget, jantungku rasanya hampir copot, “apaan sih, kaget nih,”
“Maaf deh, aku cuman mau ngingetin kok,”
“Apaan tuh?”
Andi berdiri disusul Hasan, mereka sudah memakai sarung dan baju koko. “5 menit lagi adzan loh,” mereka pun berlari meninggalkanku.
Aku melihat jam dinding, tanganku tiba-tiba bergerak sendiri, mengambil sarung dan baju koko dari lemari lalu lari keluar asrama.
Hari berganti hari, kali ini dinginnya pagi tak seperti biasanya. Aku terpaksa memakai jaketku yang sangat tebal itu saat sholat shubuh. Airnya pun semakin tak bersahabat, aku memakai jurus yang dinamakan “Adus sing pening adus”. Aku hanya meyiramkan air di kaki, dan keluar kamar mandi. Memang terdengar sangat simpel, namun kalau jurus ini tak dilaksanakan maka bisa saja aku menjadi manusia es 5 menit kemudian. Andi keluar dari kamar mandi di sebelahku, tampangnya seperti merasa tak bersalah.
“Ka..kamu mandi?” wajahku terheran heran dengan kemampuan Andi, jangan-jangan dia adalah manusia es sungguhan.
“He, kok kamu terheran-heran sih. Ya mandilah, masa mau sekolah gak mandi. Ntar bau loh,”
“Enggak, maksudku gini loh. Kok kamu tahan sih sama airnya,”
Andi tertawa terbahak-bahak, tangannya tak henti memegang perutnya,”Ka..kamu gak tahan sama air kayak begitu,” Andi masih memegang perutnya,”sebenarnya aku suka camping, mungkin itu alasannya aku bisa tahan sama air kayak gitu,”
Aku masih tak percaya, hanya saja mungkin butuh berapa lama agar air itu dan aku bersahabat, seperi halnya Mermaid Man dan partnernya. Namun pada akhirnya aku tak mandi dan hanya memakai parfum biar wangi, dan berangkat.∑
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Perjalanan : Negatif Dan Positif
Ficção GeralKisah tentang mencari arti dibalik 'pesantren'