Bab XI

4 1 0
                                    

Kabar gembira datang bagaikan sang angin yang menerpa asrama. Syaikh Hamdullah telah sembuh dari sakit yang dideritanya, namun belum boleh untuk kembali. Kami tidak boleh menjenguk sang Kyai, katanya nanti akan memperburuk proses terapinya. Namun aku sudah berbicara dengan para Ustadz, memang tidak ada yang boleh menjenguknya.
     Jam 12 siang, kami baru saja menyelesaikan sholat dhuhur, aktifitas sekolah seperti biasanya, membuat rasa kantukku bangkit kembali. Akhirnya setelah beberapa lama aku tak bisa merasakan betapa nyamannya karpet masjid.
“Fik, kenapa ya kita tidak boleh menjenguk Syaik?” tiba-tiba pertanyaan yang muncul dari mulut si Rian membuat kantukku seketika hilang begitu saja.
“Kalau mau tahu, tanya aja ustadz Budi,” jawabku dengan cuek, namun malah disennyumin oleh Rian.
     “KRIIIING!!” bel telah berbunyi, kelas selanjutnya akan dimulai dalam 5 menit lagi. Aku mengingat-ingat kembali jadwal hari ini, selanjutnya adalah jadwal Bu Fika, guru bahasa Inggris kelas 7 dan 8. Aku segera berlari menjuu kelas , namun teman-temanku masih terlelap dalam miminya yang sangat indah. Biarkan saja mereka dibangunkan oleh Ustadz Budi, pikiran jahatku mulai bangun, namun saat mengingat kembali sekarang adalah ujian test.
“Woy, bangun! Ujian testnya bu Fika,” aku menghampiri satu per satu, menggoyang-goyangkan badannya hingga bangun sanpai meneriaki telingannya..
      Saat orang terakhir bangun, aku melihat seklias bu Fika dari dalam masjid. Ia sudah membawa kertas yang begitu banyak dan hampir menaiki tangga. Aku meninggalkan mereka yang masih teler, bingung, dan wajah kantuk yang belum hilang.
      Semua orang terdiam saat bu Fika masuk kelas. Beberapa kursi tidak ada orangnya sama sekali, saat bu Fika mengcek kondisi kelas, aku menyelinap masuk ke dalam kelas. Saat bu Fika hampir menyentuh kursiku, aku duduk di kursi miilik Dimas.
“Semuanya sudah siap?”
      Saat bu Fika menyiapan lembar jawaban, bangku tiba-tiba sudah terisi penuh. Bu Fika menghela nafasnya, menariknya dalam-dalam.
“KE, LU, AR!!” tangannya menunjuk ke arah pintu. Dimas, Viko, Rian, dan masih banyak lagi keluar perlahan-lahan karena tidak bisa menahan kantuknya.

∞∞∞

     Kabar burung terdengar, katanya Syaikh akan pulang ke pondok dalam waktu setengah bulan lagi, itu bukanlah waktu yang cepat. Kami telah mebuat rencana kabur dari pondok untuk menjenguk Syaikh, walaupun nanti kami akan medapatkan resikonya.
“Ayo atuh, siap siap buat rencana kita,” ujar si Andi, ia meletakkan barang-barang ke dalam tasnya.
     Karena hari ini sekolah diliburkan karena para guru sedang menjenguk Syaikh, rencana kami juga ingin menjenguk Syaikh, dengan menyelinap keluar dari sawah dekat asrama. Rencana jam 2 kami menyelinap keluar, dan menunggu di warung bu Anna di dekat pintu masuk pondok. Tindakan kami saat ini sungguh berbahaya, namun dengan konsekuensi yang cukup unik, tak perlu merogoh saku celana ataupun dompet.
     Karena kam pernah melihat kakak kelas kami kabur, aku juga penasaran bagaimana rasanya. Konsekuensinya adalah berubah menjadi tuyul, alias dibotak satu angkatan. Namun itu bisa saja menjadi kenang-kenangan selama disini, tapi itu masih saja bisa menimbulkan kamu dikeluarkan.
“Sudah jam 2 nih, ayo keburu pulang ustadznya,” seru Rian dari balik pintu, ia sekarang yang memimpin rencana kali ini. Entah seperti apa aku nanti, ketua OSIS tapi kabur.
“semuanya, sudah?”
“Sudah Fik, kita keluarnya dari sawah. Jangan sampai ketahuan sama yang lainnya,” ujar Rian.
     Kami keluar perlahan, tas kami turunkan dari atas melalui jendela. Kami turun mengunakan tangan kosong, setelah keluar asrama, kami mengambil tas kami. Satu dua orang mondar-mandr di situ, membuat kami agak sedikit berhati-hati.

     “Ayo!” seru Rian sambil merangkak dari pagar besi yang membatasi sawah, dibawahnya terdapat sebuah celah yang digunakan untuk kabur.
“lewat mana nih terusan?” aku bingung dengan jalannya, namun Rian sepertinya juga merasa bingung.
“Lewat sini aja, kayaknya bakal tembus ke jalan raya,”
“boleh juga, ayo!” Rian kembali bersemangat lagi atas usul dari Viko. Semuanya kembali bergerak mengikuti Rian dengaan sangat perlahan, namun pasti.
     Akhirnya kami berhasil sampai jalan raya, kami memperhatikan mobil yang berlalu-lalang di jalan, kami mencari mobil Van putih yang digunakan para ustadz. Namun sebelum itu, kami mencari tempat yang agak lebih luas daripada menunggu di punggir jalan dan malah ketahuan.
“Katanya di warung bu Anna?” protes Viko, perutnya sudah menunjukkan batasnya.
“lapar ya?” tanyaku dengan wajah menyindir.
       Viko hanya menganggukkan kepalanya, ia memegangi perutnya. Kami berjalan menuju persimpangan jalan, kami menunggu angkot yang lewat. Jalur 5 adalah angkot yang akan kita naiki, setelah setengah jam menunggu akhirnya kami berhasil mendapatkan angkot. Saat naik, aku melihat mobil Van putih yang digunakan untuk mengantarkan para ustadz. Jendela depan terbuka, terlihat Ustadz Budi meletakkan tangannya unyuk bersandar di jendela, Ustadz Budi menolehkan pandangannya ke arah angkot kami, untungnya aku sudah masuk sebagai yang terakhir.
“Fiuuh, untung saja gak ketahuan,” akiu menghela nafas.
“Emangnya kenapa Fik?” tanya Andi heran, wajahnya tampak sangat gugup.
     Kami berangkat dari pukul setengah tiga, kondisi jalan tak terlalu ramai, hanya di saat lampu lalu lintas.
“masih lama atuh??” tanya Rafa sambil memakan roti isian yang sudah dibelinya di kantin sekolah.
     Aku hanya mengangguk pelan, maaku buka-tutup seperti pintu. Rasa kantukku yang kutahan selama beberapa jam ini mulai muncul kembali.
“Pak, RS Cipta Kusuma ya,” aku menepuk pundak sopir angkot itu, dan dibalas dengan anggukan.
“mungkin 5 menit lah kita sampai,” suasana angkot menjadi sepi, ternyata semua terlelap dalam kantuknya

∞∞∞

     Kami telah sampai di depan RS Cipta Kusuma. Langit menjadi mendung, awan hitam mulai muncul seketika. Kami masuk ke ruang UGD, bertanya kepada perawat di ruang administrasi. Namun sang perawat tak mau memberitahukan, katanya kami bukan pihak keluarganya. Sudah 10 menit kami meminta perawat itu untuk memberitahukannya, kami pasrah lalu kembali ke ruang tunggu.
“Gimana atuh, masa kita sudah jauh jauh datang ke sini, terus gak ketemu Syaikh.” Andi mengomel-omel sejak di ruang tunggu, aku melihat sekitar dan sebuah keberuntungan datang kepada kami.
     Devi datang dari pintu masuk, sepertinya ia sedang terburu-buru. Aku mencoba memanggilnya dan ia menoleh ke arahku, wajahnya nampak merah, gestur tubuhnya seperi sedang malu-malu.
“Dev, kamar Syaikh nomor berapa ya?”
“Kenapa gak tanya sama perawat itu daritadi?”
     Aku memegang keningku, “katanya aku bukan pihak keluarganya, jadinya ya, gak boleh,” Devi duduk disebelahku, tangannya memegang lembut, “kalau begitu ikut aku saja,” aku malu-malu untuk menjawabnya, kepalaku merefleks mengangguk-angguk sendiri.
     Teman-teman yang lainnya menatap iri, mereka nampak mempunyai rasa dendam yang sangat besar, sebesar perut si Viko. Aku melihat tangannya Devi yang memegang tanganku, aku jadi tahu permasalahan yang sedang kuhadapi.
“Ayo,” aku melepaskan tangannya, sontak Devi juga kaget, apa yang sudah ia lakukan. Devi beranjak dari kursi, lalu menuntun kami.
     Kamar 12, ternyata masih sama seperti sebelumnya, Devi membuka pintu sambil bertanya kepadaku, “Seppertinya Ayah juga ingin bertemu denganmu, walaupun sepertinya sudah dilarang oleh pak Budi,”
      Kami memasuki kamar, Syaikh sedang menatap luar ruangan, hawa dingin menyelimuti ruangan. Devi mengambil remot AC lalu menghangatkan ruangan.
“Fikri?” Syaikh menatap wajahku, seketika air mata menetes dari wajahnya yang sudah tua itu. Tangannya yang sudah rapuh seperti ingin menggapaiku.
     Aku mendekati Syaikh, lalu menggenggam tangannya itu. Wajah yang sangat dirindukan oleh semuanya, wajah yang selalu mengajarkan orang kebaikan, wajah itu sekaang sedang berbaring di atas kasur rumah sakit.
“Syaikh apa kabar?” aku duduk di atas kuris yang berada di samping kasur, aku menatap wajahnya.
“Sudah kuduga kamu akan kesini, kalian semua. Terimalah ini, walaupun kalian ketahuan kabur, kalian hanya akan menjadi botak saja, tanpa pengurangan point.”
     Senyum kami memyeringai lebar, entah kami haru senang ataupun sedih dalam kondisi ini. Devi tersenyum melihatku, ia duduk di teras memandang langit yang berawan.
“kalian pulanglah, nanti ustadz Budi mencemaskan kalian,” pinta Syaikh kepada kami, kami mengerti kondisinya, namun aku masih ingin melihat wajah Syaikh lebih lama lagi.
“Fik, ikut saja. Ini demi Syaikh loh,” Andi menarik lenganku, menyuruhku untuk ikut pulang bersama, “Kasiha Syaikh, jika kamu ada di sini maka tidak hanya Syaikh, namun Ustadz Budi, Ustadz Iman, dan teman-teman semuanya akan lebih mengkhawatiarkanmu,”
     Aku memang sudah tahu kondisinya, namun tetap saja. Devi membuka pintu teras, lalu menuju ke dalam. Ia mendekati Syaih, mencoba meraih tangannya, “kamu pulang saja, aku akan tetap menjaga ayahku kok,”
     Perasaan tentram damai menyelimuti hatiku, sekarang rasanya tak akan ada penyesalan. Aku keluar dari pinu, wajah senyum Syaikh membuat hatiku terisi. Sekarang aku bisa pulang dengan tenang.
“Gih, udah mau hujan nih,” wajah Viko terlihat sangat tergesa-gesa.
     Kami menunggu angkot di halte bus, setelah 5 menit menunggu ada seorang bapak-bapak menghampiri kami.
“Dek, kalau mau nunggu angkot disana,” ucapnya sambil menunjuk kearah halte yang lebih kecil, banyak orang berada disana.
“oh, makasih ya pak,” kami menahan malu, lalu pindah ke ujung sana. Hujan mulai turun, hawa dingin menerpa kami. Angin yang berhembus sangat kencang hampir saja menerbangkan Rafa yang sangat kurus kecil.
     15 menit kami menunggu, namun tak ada satupun kendaraan yang lewat. Jalur lalu lintas nampak sepi, hanya angin yang melewati jalanan. Andi mengecek jam, sekarang pukul tiga lewat dua puluh satu menit, kami harus puas menunggu disini, entah sampai kapan.∑

Jejak Perjalanan : Negatif Dan PositifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang