Bab X

4 1 0
                                    

Sekolah diliburkan beberapa pekan, mengingat Syaikh masih di rawat di rumah sakit. Hari ini adalah hari Jum’at, hari yang berkah. Adzan telah dikumandangkan, masjid tampak masih sepi dan sunyi sekali. Beberapa orang sudah berada di shof paling depan, sedangkan shof belakang masih sepi. Suara teriakan terdengar dari asrama, ustadz Budi mengoprak-oprak dalam asrama. Suara gemuruh langkah kaki terdengar sampai dalam masjid, suaranya nampak persis dengan suara sapi yang sedang berlari di padang rumput.
     Muadzin telah keluar dari tempatnya, sekejap masjid menjadi ramai namun tetap sunyi. Tatapan semuanya tertuju kepada Ivan, muadzin yang baru saja mendapat jatah adzan. Wajahnya tampak tak bersalah sekalipun, namun ia tak berani menengok ke belakang.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” Kahotib memlai khotbahnya dengan sangat santai, tak seserius para jamaahnya. Aku terlealp dalam suasana yang tak bisa di duakan ini, hawa kantuk menerpaku begitu saja.
“Allahu akbar Allahu akbar,” Iqomah sudah dikumandangkan, aku erbangun dari mimpiku yang sangat singkat, namun bermakna.
     Sholat Jum’at telah usai, aku dan teman-teman enggan sekali beranjak dari masjid. Entah ada apa dengan karpet masjid ini, serasa tidur di hotel bintang 5 kata temenku. 
“Setelah ini ada kegiatan gak ketua OSIS?” Fian cengas-cengis di hadapanku, ajah kantuknya tak bisa di sembunyikannya. Mulutnya menguap bagaikan mulut buaya darat yang siap menerkam mangsanya, yaitu kantuk.
     Aku merebahkan tubuhku dan membiarkannya jatuh di kasur bintang 5 ala pondok. Kepalaku hanya menggeleng-geleng, dan tiba-tiba saja mataku tertutup rapat.
“Jiaah, ngantukan.” Ucap Koko dari sampinku, mulutnya juga terbuka lebar seperti Fian.
     Hembusan kipas angin menjadi pahlawan kesiangan bagiku, terpaanya serasa membawaku langsung ke dunia mimpi. 1 atau 2 menit pasti akan terlelap, entah dalam kondisi ngantuk ataupun tidak, kantukmu akan terus membayangimu

∞∞∞
     Beberapa hari ini, sekolah masih saja diliburkan, jam menunjukkan pukul 8 pagi. Suara aneh terdengar dari ujung kamar, suara seperti decitan keras dari tempat Andi berada persis.
“Lah, si Viko belum bangun nih,” Andi mengecek asalnya suara, usut punya usut suara itu berasal dari ngorok milik Viko. Entah apa yang membuatnya maih tidur terlelap sampai sekarang.
“Eh, tadi yang ngebangunin si Viko pas mau shubuh siapa?” wajah curiga muncul dari benaknya si Bagas.
     Terjadi cek-cok antara teman kamar, fitnah saling menyerang bagaikan angin yang tiba-tiba saja berhembus. Lalu Andi sebagai pahlawan kesiangan melerai mereka dan menyuruh mereka untuk duduk diam.
“Sudah sudah, mending kita selesaikan ini dengan cara selow,” semua diam, dan memperhatikan Andi yang berda di depan.
     Andi menanyakan kepada semuanya, siapa diantara kita yang bangun terakhir kalinya, dan pergi dari kamar terakhir kalinya. Respon tidak ada sama sekali, Andi menaruh wajah curiga terhadap Fian. Fian pun tak mengakui hal itu, namun Fian malah menuguh si Andi. Cek-cok bermulai kembali, hingga salah satu teman diantara kita memberi satu alasan kenapa tidak ada yang mengakuinya.
“Apa alsannya Dim?” tanya Andi kepada Dimas secara curiga.
“Jadi, kenapa tidak ada yang mengaku? Ada dua jawaban, yaitu karena yang bangun terakhir kali belum ada, dan yang terakhir kali keluar kamar belum bangun.”
     Semuanya sontak berdiri, dan langsung berteriak sekerasnya, “Owalah, Viko!” semuanya menghampirinya dan lansung menggoyang-goyangkan dipannya dengan sangat kuat. Viko terpelanting dari dipannya dan malah bertengger di dipannya milik Andi.
“Ealah, malah di dipanku,” Andi mengambil air dari Galon, lalu menyipratkan sedikti demi sedikit ke wajahnya Viko.
     Matanya sama sekali tak terbuka, bagaikan lem tikus sudah bersarang disana sejak lama. Ttubuhnya bergeser-geser ke kanan dan ke kiri. Lalu dari arah pintu Ustadz Budi datang dengan membawa ember di tangan kanannya, “Minggir semuanya,” saat semua udah menyingkir dari Viko, ustadz Budi menyiramkan embernya dan Viko terbangun seketika.
“Guuah!! Ada apa ini, kok basah semua sih?”
     Semua menatapnya, tak terkecuali si Andi yang menjadi korban kasur basah. Viko lantas turun dari dipan dan menuju ke arah lemarinya. Ustadz Budi mendekatinya, embernya ia lemparkan begitu saja sehingga mengenai Fian dari belakang, Fian pun tak kuasa menahan rasa sakitnya itu.
“Sekarang jam berapa Vik?”
     Viko menatap ke arah jam dinding, wajahnya tampak biasa saja. “Jam 8,” tak muncul sekalipun rasa bersalah dari wajahnya, hanya menyisakan air liur yang masih menempel.
“Artinya apa hayo? Jam 8 pagi kok baru bangun,” sekarang ustadz mengeluarkan rotan dari balik bajunya, Viko sekaarang mulai mengerti apa yang menimpanya barusan.
     Viko menelan ludah, wajahnya sekarang nampak sangaat gemetaran. Kakinya tak sanggup lagi untuk berdiri, celananya seperti mengeluarkan bau kencing. Viko pun tiba-tiba saja berlari menuju pintu, dan berhasil kabur dari kami semua.

Jejak Perjalanan : Negatif Dan PositifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang