1

431 29 3
                                    


Pemuda bertubuh tinggi besar tersebut berjalan gontai sembari membaca ulang pesan singkat yang terpampang diponselnya, entah sudah berapa kali dia membaca pesan-pesan singkat tersebut, dan entah untuk apa dia mengulang untuk membacanya, tak akan ada yang berubah dari deretan pesan singkat tersebut. Pesan-pesan itu akan tetap berasa di inbox ponselnya, kecuali jika dia memustukan untuk menghapus semuanya, tapi tentu saja itu tak akan dia lakukan. Pesan-pesan singkat itu terlalu berharga baginya untuk dihapus, namun juga tidak terlalu baik untuk kondisi mentalnya jika dia kerap mengulang untuk membaca semuanya. 

Helaan nafas beratnya memecah keheningan sore hari itu. Akhirnya dia memutuskan untuk mamasukkan ponselnya kedalam saku dan mempercepat langkahnya menuju suatu tempat, berhenti untuk membaca pesan-pesan singkat yang dia rasa sangat berharga namun juga tidak terlalu penting. Langkahnya terhenti di depan sebuah rumah yang tidak terlalu besar, namun tak bisa dibilang kecil juga, rumah yang sudah sangat dia hafal, rumah yang sudah sangat sering dia kunjungi, rumah yang bisa dia sebut sebagai rumah keduanya, jikalau dia tak pulang ke rumah orang tuanya, sudah dapat dipastikan dia akan berada di rumah yang sedang diperhatikannya itu. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru, mencari sesuatu yang mungkin berubah, sudah hampir dua bulan sejak dia terakhir kali menginjakkan kakinya dirumah itu, namun semua tetap nampak sama, warna pagar dan dindingnya, jumlah tanaman yang berada dibalik pagar, semua tetap sama dan semua hal yang dilihatnya tiba-tiba menyerangnya dengan rasa rindu yang luar biasa, hanya dua bulan dan dia sudah merasa serindu ini. Bibir lelaki itu tertarik membentuk sebuah senyum kecil saat mata coklatnya mendapati lampu menyala di balik jendela kaca di lantai dua. Cukup lama dia memandangi jendela kaca itu, mengingat-ingat apa saja yang biasa dilakukan sang pemilik ruangan di jam seperti ini dan gelombang rindu kembali menghantamnya. Kali ini lebih besar daripada sebelumnya. Dia menghela nafas sekali lagi lalu menelan ludah sebelum akhirnya membuka pagar yang tak terkunci lalu berjalan masuk, menuju ke pintu rumah dan menekan bel. Tak lama pintu rumah tersebut terbuka dan seorang wanita baya menyambut kedatangan lelaki tersebut dengan senyum cerah, sangat cerah sehingga bisa disandingkan dengan sinar matahari yang hampir tenggelam sore itu.

"Asahi? Akhirnya kau ingat rumah keduamu" Sapa wanita itu sembari berjinjit kecil sehingga tangannya bisa meraih kedua pipi pemuda yang dipanggilnya Asahi. Sementara pemuda yang bernama Asahi tersebut hanya tersenyum kikuk.

"Aku sedang memasak makan malam, dia berada dikamarnya, tunggulah disana dan aku akan memanggil kalian berdua nanti" Lanjut wanita itu, setelah melepas tangkupan tangannya di pipi Asahi dan mempersilahkan pemuda itu memasuki rumah.

"Oh, dia tidak kuliah hari ini?" tanya Asahi basa basi, walau sebenarnya dia tahu kalau sang pemilik ruangan dengan lampu menyala tadi berada dirumah. 

"Suasana hatinya sedang buruk belakangan ini, dia hanya berdiam diri dikamar dan hanya keluar kamar untuk makan atau ke kamar mandi" Jawab wanita tersebut, sambil menggelengkan kepalanya dan kembali berjalan ke dapur untuk melanjutkan memasak.

"Ah sou, aku akan mencoba menenangkannya kalau begitu" Timpal Asahi disertai senyum kikuk lagi.

"Aku berharap banyak padamu" Jawab wanita tersebut sebelum menghilang dibalik koridor menuju dapur. 

Mata coklat Asahi memandang tangga yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri lalu melangkahkan kakinya menaiki tangga tersebut dan menuju ke arah ruangan yang terletak diujung tangga. Rumah itu sudah seperti rumah keduanya, dia bebas masuk dan keluar kapan saja, tanpa berpikir dua kali dan tanpa mengetuk, Asahi membuka pintu ruangan tersebut lalu membeku selama dua detik saat mendapati sang pemilik ruangan sedang melepas baju yang dia kenakan. 

"Oh Asahi" Komentar pendek seorang gadis saat dilihatnya Asahi membeku, lalu kembali melanjutkan kegiatannya mengganti baju, tak ambil pusing jika Asahi melihatnya. Sementara Asahi hanya menghela nafas berat sesaat setelah sadar, lalu menutup pintu kamar. 

Azumane Asahi baru saja melihat seorang gadis mengganti pakaiannya dan dia tidak merasa panik atau bingung atau perasaan campur aduk lainnya yang biasa dia rasakan bersama orang lain. Asahi akan merasa sangat bersalah dan canggung jika gadis yang dilihatnya itu bukanlah teman masa kecilnya, temannya sejak dia bisa mengingat. 

Teman.... kata-kata itu kurang pas untuk menyebutkan hubungan Asahi dan gadis tersebut. Walaupun hanya teman, Asahi akan tetap merasa canggung jika dia melihatnya berganti pakaian. Namun, lihatlah dia sekarang, tak merasakan apapun, hanya terkejut untuk beberapa detik kemudian kembali tenang seperti sebelumnya. Asahi sendiri pun sangat bingung dengan hubungan yang dia miliki dengan gadis di hadapannya itu. Gadis yang mengirimkan pesan-pesan pendek yang terus dibaca Asahi tanpa merasa bosan. Gadis yang tak pernah memiliki batasan dengannya. Gadis yang membuatnya bingung beberapa tahun belakangan tentang hubungan seperti apa yang mereka miliki.

"Kau bisa mengunci pintumu kan?" Tanya Asahi tenang, kemudian mengambil meja lipat kecil didekat lemari dan membawanya kesamping tempat tidur. Membuka kaki-kaki meja tersebut dan meletakkannya lalu dengan nafas berat Asahi melemparkan dirinya sendiri ke atas tempat tidur. Sementara gadis pemilik kamar hanya memerhatikan pria bernama Asahi tersebut dalam diam.

"Untuk apa kau mengambil meja itu kalau kau hanya ingin tidur?" Tanya si gadis, kali ini sambil berjalan mendekat ke tempat tidur, menatap Asahi yang kelelahan.

"Aku hanya beristirahat sebentar, aku kesini bukan untuk tidur" Jawab Asahi, menatap langit-langit kamar, tak mengindahkan gadis tersebut.

"Oh" Komentar gadis itu sekenanya lalu mendudukan tubuhnya dilantai, menyandarkan tubuhnya ke tempat tidur. "Asahi, ponselku. Diatas kepalamu" Lanjut sigadis, meminta Asahi untuk mengambilkan ponselnya, sementara si wajah gangster melakukan apa yang diminta si gadis dengan setengah hati. Dia meraba-raba bagian atas kepalanya tanpa melihat lalu tiba-tiba muncul pikiran ingin tahu akan ponsel gadis tersebut. Setelah mendapatkan benda segi empat tersebut, Asahi tidak langsung menyerahkannya, dibukanya kunci ponsel tersebut, tanpa berpikir dua kali atau bertanya pada sang pemilik ponsel Asahi tahu kalau tanggal dan bulan lahirnya adalah passcode yang gadis itu gunakan. Asahi kembali menghela nafas berat saat didapatinya potret dirinya dan gadis tersebut sebagai wallpaper ponsel. "Asahi, ponselku" Sergah sigadis saat Asahi masih tak menyerahkan ponselnya

"Ha'i ha'i.. douzo" Jawab Asahi pendek lalu mengulurkan tangannya, menyerahkan ponsel tersebut ke pemiliknya. Gadis itu menerima ponselnya dan tak lama dia tenggelam ke entah apa yang dia baca di dalam ponsel tersebut. Asahi memerhatikan gadis itu dalam diam, dia tak bisa melihat ekspresi gadis yang duduk dilantai membelakanginya tersebut. Ingin sekali Asahi bisa mengetahui ekspresi apa yang dibuat gadis itu saat tenggelam dalam ponselnya, ingin sekali Asahi bisa mengetahui apa saja isi otak gadis itu, ingin sekali Asahi mengetahui apa isi hati gadis itu atau bagaimana perasaan sigadis.... terhadapnya.

"Oy" Panggil Asahi pendek

"Hm?" Timpal gadis itu, tanpa mengalihkan perhatiaannya dari ponsel.

"Kita ini.... sebenarnya apa?" Tanya Asahi pelan, lalu membenamkan separuh wajahnya dibantal yang ia gunakan. Dan begitulah pertanyaan itu meluncur dari mulut seorang Azumane Asahi, seorang Asahi yang seharusnya tidak punya cukup kepercayaan diri untuk bertanya seperti itu, seorang Asahi yang sangat kikuk apalagi jika dihadapkan dengan seorang gadis, seorang Asahi yang penakut. Namun gadis itu membuatnya merasa berbeda, dia tidak kikuk, dia tidak panik, dia tidak takut jika dihadapkan dengan gadis itu, entah apapun yang gadis itu lakukan, termasuk mengganti pakainnya dihadapan Asahi. Apakah karena mereka berteman sejak bayi? Atau Asahi hanya merasa nyaman saat bersama gadis itu? Atau Asahi jatuh cinta pada gadis itu?
Tapi.. satu hal yang Asahi tahu, bahwa orang yang membuatmu jatuh cinta pasti akan membuat jantungmu berdebar, atau seperti ada ratusan kupu-kupu diperutmu, atau membuat wajahmu semerah tomat.. dan.. Asahi tidak pernah merasakan satu hal pun dari itu semua. Yang Asahi tahu, gadis itu membuatnya bahagia, membuatnya selalu ingin berada didekatnya.

Asahi melirik gadis tersebut, setelah dia meluncurkan pertanyaan tadi secara tiba-tiba, gadis itu tidak terpaku lagi ke ponselnya, namun juga tidak menatap Asahi, dia hanya menatap lurus kedepan.

"Kita.... teman?" Jawab gadis itu pendek, lebih seperti kembali bertanya daripada menjawab.



What are we?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang