Eleven
Kina termenung di kursi nya di ruang klub Lachen. Dia memandang sebuah busur panah yang ujung nya terdapat cairan merah yang sudah membeku. Pikirannya melayang ke tubuh Alexa yang sekarang masih berbaring di lantai balkon koridor rumah walikota. Kadang, Kina mencubit diri nya sendiri, berharap agar ini semua hanyalah mimpi.
Tetapi dia salah. Ini nyata.
Kina meremas rambut nya marah. Yang ia pertanyakan, mengapa? Mengapa Alexa yang dipilih tuhan untuk mendampingi-Nya? Mengapa tidak dia saja? Lagipula dia juga masih pusing karena tulisan ibu nya kemarin.
Tangannya terus menggenggam busur panah itu, seakan-akan ingin mematahkannya, tetapi ia tahu kalau ia tidak akan bisa mematahkannya. Ia tidak tega. Benda ini adalah peninggalan Alexa. Dan benda ini tidak mungkin akan Kina apa-apakan kecuali menyimpannya di lemari.
Perlahan, Drake menolehkan kepala nya ke arah Kina, menampakan wajah sayu. "Kina—"
"Ya, ya, aku tahu,"ucap Kina tanpa menoleh, bahkan melirik Drake. "Aku harus tegar." Ia terdiam sejenak. Lalu menghela nafas. "Iya kan?"
Drake mengangguk pelan. Lalu membingkai wajah Kina di tangannya. "Jangan sekali-kali kau memandang hal itu sebagai hal negatif. Karena mungkin tuhan merencakan suatu kejutan untuk mu."
"Yah, mungkin."jawab Kina datar, Ia melepaskan tangan Drake. Lalu beralih menuju jendela yang sudah dipenuhi rintik-rintik hujan. "Dimana Cantika dan Ale—maksud ku, Azalia?"
"Mereka sedang membeli teh hijau. Untuk menenangkan diri kita masing-masing. Maksud ku, hal ini benar-benar mengejutkan untuk kita semua. Jadi ku harap kita bisa tenang,"cerocos Drake tanpa henti. Ia menguap lebar. Lalu menumpukan siku nya ke meja. "Jadi, hanya kita berdua saja, ya?"
Kina melirik Drake lirih. "Seperti sebuah kutukan. Siapa selanjutnya?"
"Bukan dari kalian berdua, tentu nya."
Seorang pria yang tampak sudah tua telah memasuki ruangan klub Lachen tanpa ketukan. Beliau tersenyum ke dua orang remaja itu yang masih tenggelam dengan kepedihan.
Drake terperanjat. "Pak walikota? Apa yang sedang anda lakukan disini? Bukan nya anda harus evakuasi secepatnya?"
"Melihat batang hidung kalian tak ada di tempat evakuasi membuat ku cemas,"tawa pak Walikota. "Aku sudah tahu semua nya. Mata-mata dari ksatria Wardonata memberitahu ku. Aku turut berduka, Drake, Kina."
Pak Walikota menghela nafas panjang. "Tetapi, dengan kekuatan kalian, aku yakin kalau kalian dapat menuntaskan masalah ini."
"Apa maksud anda, pak?" Drake merengutkan dahi nya sehingga terbentuk lipatan-lipatan kecil di dahi Drake. "Kami hanya remaja normal dari klan Wardonata dari sekolah yang sama sekali tak normal."
Kina meringis mendengar kata 'sekolah yang sama sekali tak benar', lalu tertawa kecil dalam hati.
"Aku telah mengetahui kegiatan klub Lachen ini. Membantu. Kegiatan mulia yang membuat ku tersanjung sekali. Dan juga, kalian lebih berfungsi daripada OSIS sekolah ini,"jelas pak Walikota. "Aku sudah mengetahui kasus-kasus yang kalian pecahkan, kerja sama kalian, itu membuat ku benar-benar terkesan."
"Tapi," Kina menoleh, menatap pak Walikota lekat. "Kami.. tinggal berdua."
"Lalu siapa mereka?"
Drake semakin bingung. "Mereka siapa?"
"Halo! Teh hijau nya masih panas, jadi jangan minum terlalu cepat atau lidah mu akan terbakar,"seru Cantika dari depan pintu seraya membawa dua buah gelas dari kaca yang berwarna hijau rumput. "Uh oh, pak walikota!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lachen {ON HOLD}
FantasyApa yang harus kulakukan ketika melihat ia tersenyum terakhir kali nya di depan ku? Apa yang harus kulakukan ketika sadar kalau aku termasuk klan tak kenal empati itu? Apa yang harus kulakukan ketika melihat sahabat ku melemparkan tatapan tersentak...