Seven
Mata Alexa melebar.
Aku dapat merasakan kalau jantung Alexa berdegup lebih kencang dari pada biasanya. Ia membeku di depan pintu putih.
“Alexa?”
Drake tertegun mengamati Alexa. Keringat dingin nya mengucur dari dahi.
Alexa mengedip. Ia menunduk, menatap lantai sesaat, kemudian berlari keluar.
“Alexa?!”
Drake tersentak. Ia beranjak dengan cepat, lalu bergegas keluar.
“Drake!” Aku terkejut. Kemudian bergegas untuk berlari mengikuti nya.
“Drake!”seru ku lagi. Aku berlari mengikuti punggung Drake yang mulai menjauh dari pandangan ku. “Drake, tunggu aku!”
Drake berhenti, lalu menoleh. Nafas nya tersengal. Ia menumpukan tangannya di lutut. Lalu mengontrol nafas. “Alexa.. Pergi menggunakan teleport nya. Kurasa dia pergi ke rumah nya.”
Aku mengangguk. Ku usap punggung nya perlahan.
Lagi-lagi, aku dapat merasakan kalau Alexa sedang menangis sekarang.
-
Hujan masih lebat ketika aku dan Drake sampai di sekolah. Untung saja kami memakai kereta kesini agar tidak basah. Sebelum itu, kami pamit dulu dengan walikota tanpa memberitahu tentang Alexa tadi. Aku merasa tak nyaman kalau harus membicarakan hal itu dengan walikota mengetahui ia sangat berwibawa.
Walikota berkata kalau kita harus tetap tenang, beliau sendiri akan memikirkan bagaimana nanti selanjutnya. Beliau tidak bisa meramalkan masa depan. Kata nya, ada yang menghalangi pemikiran nya.
Entahlah, aku tidak begitu memikirkan perkataan beliau tadi. Aku hanya memikirkan bagaimana keadaan Alexa, aku harus pergi ke rumah nya.
“Kelihatannya dia ingin sendiri. Jadi ku anjurkan kau agar tidak pergi,”ucap Drake begitu kami sampai di ruangan klub. Ia menghempaskan diri nya di kursi, lalu melirik ku.
Aku mengernyit. “Tetapi kita tidak bisa tidak melakukan apa-apa.”
“Kau benar,”tukas Drake. “Yang bisa kita lakukan hanyalah—kau, membeli eskrim sekarang. Aku ingin eskrim.”
“DRAKE!”
“Ok ok, maaf.” Drake tertawa. Ia menghela nafas geli. “Aku juga tidak akan melarang kau pergi kesana. Aku hanya tidak menganjurkan nya.”
“Kalau begitu aku akan kesana.”ucap ku mantap. Aku berbalik, hendak melewati pintu yang sedari tadi terbuka.
“Semoga beruntung.”
Ucapan Drake membuat ku menoleh. Aku mendelik, lalu berlari dengan cepat ke tangga agar bisa ke lantai dasar gedung klub sekolah. Aku melirik payung yang bertengger di dekat pilar-pilar bangunan. Aku bergegas mengambilnya, kemudian berlari lagi keluar.
Aku tahu kalau rumah Alexa terletak agak jauh dari sini, tetapi apa daya, aku tak bisa memakai kereta karena menurut ku itu menghabiskan uang. Dan aku yakin kalau Drake lagi mengfokuskan pikirannya kepada pikiran ku.
Dan aku yakin sekarang dia sedang tertawa geli karena dia ketahuan.
Aku menghela nafas ku. Lalu aku membuka payung yang ku curi tadi.
Setelah beberapa menit berjalan, aku terdiam sejenak di tengah jalan. Suara bergetar di ponsel ku menyadarkan ku dari lamunan hujan. Aku menguap lebar. Rintikan hujan membuat ku mengantuk. Tetapi aku tak akan tidur lagi di depan toko.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lachen {ON HOLD}
FantasyApa yang harus kulakukan ketika melihat ia tersenyum terakhir kali nya di depan ku? Apa yang harus kulakukan ketika sadar kalau aku termasuk klan tak kenal empati itu? Apa yang harus kulakukan ketika melihat sahabat ku melemparkan tatapan tersentak...