ch.1 : Spring Without Blooming

513 46 10
                                    


I let my guard down
And then you pulled the rug
I was getting kinda used to being someone you loved


Someone You Loved - Lewis Capaldi

________________________________________________________

Jajaran awan kelabu berarak-arak menutupi jingganya langit sore. Tak lama setelahnya, derai diizinkan tuk bertamu pada tanah ini.

"Ra, ngapain masih di teras?!" seru kakak perempuanku keras memecah lamunan di antara bisingnya hujan.

"Iya, ini aku berangkat!" balasku tak kalah kerasnya.

Setelah sekian lama akhirnya aku bisa mencium bau hujan yang wangi khasnya mengalahkan harum bunga lily putih. Memang suatu nikmat yang luar biasa, apalagi sambil menatap rintik yang menempel di kaca jendela kamarku kala cerah akan pamit undur diri pada semesta, tapi kakak malah menyuruhku membeli teh di toko ujung perumahan. Ya, meski dekat tetap saja, hujan. Sepanjang jalan aku masih mengingat dengan jelas pemandangan apa yang kulihat tadi. Sungguh, itu adalah fenomena langka yang kulihat untuk terakhir kali 3 tahun lalu. Tak habis pikir.

Aku menyeduh teh yang kubeli tadi sembari menatap sayu jendela kamarku. Kuputuskan meminum tehku sebelum udara membuatnya tak lagi hangat. Lagi-lagi kudapati potret kejadian tadi yang hadirnya tak mampu kuseka dari pikiranku sendiri. Kuambil pena beserta teman setianya, dan kuputuskan menulis sajak untuk menghindarinya menguasai isi kepalaku.

Kulihat purnama di tengah derasnya hujan

Kutemui mentari dalam luas samudera kegelapan

Kudapati rahasia yang menganga di dekap keramaian

Apakah embun memutuskan untuk terjatuh di sore ini?

Entah apa yang terjadi padaku sebenarnya, pada akhirnya aku malah menulis sajak aneh seperti itu. Sudahlah, lebih baik mengakhiri semua sandiwara ini.

Sinar lembut sang surya menghangatkanku pagi ini. Di halaman gedung hijau yang luas itu aku berjalan menuju ruang kelas. Langkahku terhenti, saat kudapati sepasang tatapan dingin mengarah padaku yang berjalan dari arah berlawanan. Apa-apaan ini, mengapa ia menatapku seperti itu? Ya, itu hari terakhir kami bersekolah sebelum upacara perpisahan. Tak dapat kupungkiri apa yang baru saja terjadi. Bukankah ia anak yang terkenal ramah itu? Bagaimana bisa ia bersikap begitu padaku. Padahal, hari-hari kudengar cerita puji-pujian tentangnya yang tak pernah meluncurkan tatapan sinis pada siapapun. Bagaimana bisa berubah? Pada siang itu pula kudengar cerita tentangnya, tapi kali ini bukan lagi puji-pujian. Melainkan pertanyaan yang sama seperti yang kutanyakan pada diriku sendiri. Mengapa ia berubah?

Kring!

Aku kaget hingga terbangun dari tidurku. Mimpi itu, bukan mimpi lebih tepatnya. Itu adalah kejadian 3 tahun lalu saat aku masih duduk dibangku kelas 3 SMP. Ya, mungkin karena sebelum tertidur aku mengingat kejadian itu lagi. Hingga peri mimpi mereka ulang kejadian yang sama dimimpiku.

Sudah pukul 06.30 pagi. Ini hari terakhir sekolah sebelum upacara perpisahan SMA. Tentu saja aku kembali mengingat kejadian 3 tahun lalu. Dan ternyata, kejadian itu terulang hari ini. Bedanya, ia meluncurkan senyum yang sama seperti yang kulihat kemarin. Sejak terakhir kali melihatnya tersenyum saat SMP dulu, rasanya ini sudah sangat lama. Huh, apa yang kulihat barusan? Ini bukan mimpi lagi kan? Kutepuk pipiku dua kali dengan kedua telapak tangaku untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi. Benar saja, ini nyata.

Aku berusaha menenangkan diriku yang masih sangat terkejut ini. Sesampainya di kelas, aku menemukan secarik kertas yang bertuliskan sajak di loker mejaku. Ini jelas bukan punyaku. Mengapa bisa berada disini? batinku.

PlaylistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang