ch.2 : Tak Terbaca

330 32 4
                                    

I know you think I got it all figured out
'Cause I walk around like my head's in the clouds
But I'm just a boy with his heart pourin' out of his head

Trying My Best - Anson Seabra
_________________________________________________________

\\Tidak ada manusia yang benar-benar siap mati. Kalau yang ingin, banyak.\\

Pria berbalut jaket tiga lapis itu berjalan ringkih menuju kamarnya. Berteman suara jam dinding dan dengkur kucing anggora besar di ujung ruang tamu, lagi-lagi ia hanya bisa menghela napas lelah.Diambilnya koyok yang tersimpan rapi di jajaran benda paling dibutuhkan dirumah-yang tak lama kemudian sudah melekat di pundak dan punggungnya. Lantas ia mengubah haluan, perutnya keroncongan. Ia lupa belum makan sejak siang.

Jika ada kata yang bisa menggambarkan keadaannya sekarang, maka jawabnya hanya satu. Kesepian. Tak seperti di layar, terlepas dari semua itu-termasuk ponselnya yang berisi orang-orang yang setiap detiknya memberi semangat dan mendukungnya, dia hanya seorang diri. Meringkuk, bangun, dan akhirnya bertahan ditempa keadaan. Kalau saja boleh memilih antara hidup atau mati, kalau saja bisa memilih antara berani mati ya berani hidup atau berani hidup ya berani mati, maka dia akan selalu memilih opsi pertama.

Berbeda jika disuguhkan pilihan antara sendiri atau bersama, tentu saja tanpa berpikir dua kali dia akan memilih option kedua. Namun sayangnya, yang satu itu pilihan tak terpilih. Sendiri dan sepi sudah menjadi perasaan sekaligus kenyataan paling nyata yang harus ia terima.

Seperti kata mama dulu, "Terbiasa menerima hal-hal menyakitkan akan menjadikanmu lebih dewasa, Nak."

Kala itu usianya masih terpaut hitungan jari tangan terbuka penuh. Namun ajaibnya, meski otaknya belum bisa mencerna ucapan sang mama, anggota badan yang lain telah mencuri start lebih awal. Tubuhnya seakan didikte penuh sebelum dia mengerti apa yang sebenarnya sedang menantinya di depan. Seperti sebuah pena yang digerakkan perlahan oleh penulisnya, pena itu akan semakin berguna jika mau menurut. Dan dia adalah pena itu. Berguna jika menurut, dan akan dibuang jika sudah habis masa jayanya.

Setelah hampir tiga menit berlalu, ia mematikan kompor. Dengan sedikit bumbu tambahan, diaduknya mi dalam panci aluminium itu agar materi di dalamnya tercampur rata. Omong-omong soal mi instan, saking seringnya dia mengonsumsi makanan tidak sehat tersebut, semakin sering pula dia mengasihani dirinya sendiri. Seperti sekarang, sembari membayangkan nilai tabungannya yang tiap hari melejit, dia tertawa miris. Sepayah itu untuknya melayani dirinya sendiri.

Selepas makan, seperti tujuan awal, dia beranjak tidur. Tanpa mandi, tanpa melakukan ritual sebelum tidur, tanpa mencuci panci, dia melenggang begitu saja ke kamar. Toh, besoknya tidak akan ada suara mama yang melengking atau tiba-tiba kekasihnya datang dan melihat hidupnya yang jorok. Tidak, dia kan tidak punya siapa-siapa.

"Jadi, apa?" Suara itu berasal dari alam bawah sadarnya. Raga yang sedang mendengkur keras di atas ranjang ukuran satu anggota keluarga berencana itu tak lagi bersama pemiliknya. Ah, bukan tak bersama tetapi tak beriringan. Pria itu dibawa ke pinggir pantai oleh doa singkatnya sebelum tidur.

Selain tidur, pantai juga menjadi pereda nyeri paling mujarab baginya. Sejak kecil ia menyukai pantai, dan sampai sekarang, meski hanya di alam mimpi, jiwanya masih bisa merasakan ketenangan dari atmosfernya. Dan senja, apalagi imajinasi favorit bertema ketenangan yang tidak berlatar senja? Bahkan tema lain pun, perpisahan misalnya, bisa masuk dalam bingkai senja untuk akhirnya menjadikannya sebagai kenangan terpahit.

Pria itu masih tertegun saat mendapati dirinya duduk selonjoran menjemput ombak. Pun sama kagetnya saat sadar bahwa ada orang di sebelahnya-seorang wanita. Dia asing, namun wajah yang menerawang ke depan itu menyiratkan berpuluh ribu rasa tenang.

Alih-alih juga merasakan hal yang sama, wanita itu malah merasa dianggurkan karena sapannya tak kunjung mendapat sahutan, "Jadi, sekarang maumu apa, Jun?" Dengan sedikit penekanan dalam setiap katanya.

Pria yang merasa nama kecilnya terpanggil itu miliaran lipat lebih kaget, "Bagaimana dia bisa tahu?" batinnya.

"Jun? Kamu tidak tuli, benar?" Entah mengapa susah sekali mengambil fokus pria itu.

"Ti-tidak kok." Jun menggeleng kikuk, "Kamu siapa?"

"Isi kepalamu. Kenapa? Kamu tidak menyangka ada penduduk secantik ini di dalam sana?" Wanita pemilik gelang biru di tangan kirinya itu menunjuk dahi Jun, tertawa kecil.

Namun lagi-lagi, Jun yang masih belum sepenuhnya sadar-walau sejatinya memang sedang tidak sadar, kembali terbengong-bengong. Apa ada di antara kalian yang ingin memberitahunya bahwa itu semua hanya mimpi? Semua orang juga tahu kalau mimpi bisa mengamini apa pun.

"Jangan minta pulang dulu," ucap wanita itu tiba-tiba, suaranya memelan. Ia menoleh kesana-kemari, seperti was-was akan ada yang datang dan memisahkan mereka.

Jun yang tidak tahu apa maksud sosok di sebelahnya, jadi ikut mengedarkan pandangan. Sekarang hanya debur ombak yang setia menjadi BGM di antara keduanya. Atau kalau diangkat ke layar lebar, bolehlah ditambah melodi-melodi bernada rendah.

"Pulang? Pulang ke mana?" Jun makin bingung setelah tidak menemukan siapa-siapa.

"Berpulang."

Tentu saja Jun langsung menggeleng cepat-sudah dibilang, kan, selelah dan sesepi tak ada yang menyambutnya sepulang kerja, jika dihadapkan hidup atau mati, dia akan selalu memilih opsi pertama. Karena menurutnya, tidak ada manusia yang benar-benar siap mati. Kalau yang ingin, banyak.

"Tujuan awalku mengajakmu ke sini hanya satu sebenarnya." Wanita itu mengubah posisinya mirip Jun, "Seperti yang kutanyakan di awal tadi, 'Apa maumu?'"

"Apa mauku?" Jun mengulangi pertanyaan itu dalam hati. Sejujurnya, apa yang dia mau? Dia bisa saja mengatakan ingin punya waktu liburan yang cukup, pergi ke mana pun dengan bebas, membunuh orang yang membencinya, atau bahkan ... pasangan, mungkin?

"Aku ingin kau menyampaikan ini kepada masa laluku," pungkasnya. Hei, omong kosong apa ini? Bukankah pepatah selalu bilang kalau masa lalu biarlah menjadi masa lalu? Lantas, kenapa diungkit-ungkit lagi sih, Jun?!

"Yang pertama, tolong sampaikan pada masa kecilku untuk menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain. Bukan malah ker-"

"Jangan bilang kamu dulu tidak pernah bermain?" sela sosok yang sama, yang mengaku sebagai isi kepala dari pria di sampingnya.

Namun Jun hanya mengangkat bahu tak acuh-pria itu selalu sensitif jika ada yang menyela kalimatnya, "Kemudian, yakinkan masa remajaku bahwa hidup tidak melulu soal persaingan, dia layak berjalan di rutenya sendiri." Jun memejam sejenak, mengambil ruang kecil untuk meneguk ludah.

"Dan yang terakhir," Ia memandang wanita itu lekat, seakan bisa saja membunuhnya jika poin terakhir ini sampai terlupa, "ulang tahun pertamaku saat menginjak dewasa. Bisikkan padanya agar berhenti berdoa untuk menang, melainkan ganti doanya agar tidak membenci dirinya sendiri saat kalah. Pastikan dia membiasakan itu. Paham?"

Dan segelap suasana hati Jun saat menjalani hari, langit sore itu ikut menggelap. Jun menutup semua perhelatan alam dihadapannya dengan senyum tulus, dalam hati merapalkan terima kasih kepada pemilik gelang biru itu.

"Baiklah. Tetapi aku tidak bisa mendatangi mereka, yang kubisa hanya membisikkan semuanya di kepalamu. Berulang, konstan, sampai kamu tidak sadar sudah berdamai dengan kepahitan-kepahitan itu." Ia bangkit lalu membersihkan pasir yang menempel di pakaiannya, "By the way, kamu tidak ingin aku mengucapkan sesuatu untuk dirimu yang sekarang?"

"Apa?" Lagi-lagi Jun tertegun. Sampai akhirnya wanita itu hilang dan matahari tak tampak lagi wujudnya, ia hanya bisa tertawa kecil, mengusap wajah lalu kembali ke kamar. Tidak melotot, tidak terengah. Hal yang pertama kali ditemukan hanyalah seutas senyum di wajahnya.

"Apa yang ingin kusampaikan pada diriku sendiri?" Jun mengerjap, sambil menatap langit-langit kamar, ia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi-juga memikirkan jawaban dari pertanyaan terakhir wanita itu.

"Ah, aku tahu!" Jun terkekeh, "Wahai penduduk di kepala, jangan terus membuatku merasa kosong. Kamu tidak mau mengisinya, 'kan?" lanjutnya sebelum menarik selimut, kembali tidur.

Story by : euffon

PlaylistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang