Sulung Harus Ulung
Cukupkanlah
Ikatanmu
Relakanlah yang tak seharusnya untukmu
Yang sebaiknya kau jaga
Adalah
Dirimu sendiri—Sulung, Kunto Aji
________________________________________________________
Udara dingin pagi mulai menyusup kedalam kamar kecilku lewat ventilasi. Seperti biasa Ibu membuka tirai coklat di jendela kamarku dan membuyarkan sisa-sisa fantasi di kepalaku yang telah terbentuk semalaman. Sedikit semburat kemerahan terlihat di ufuk timur cakrawala.
“Selamat pagi, Tuan Putri.” Suara lembut itu masih sayup-sayup terdengar ditelingaku. Perlahan belaian penuh kasih dari sosok wanita tangguh itu membukakan mataku yang masih ingin terlelap.
“Eng… Pagi juga, Ibu.”
“Ayo bangun, Sayang. Nggak malu sama calon adik-adikmuini? Sejak pukul tiga pagi sudah meminta Ibu untuk bangun.” Tangan Ibu mengelus lembut perutnya. Kuperkirakan tanganku tidak lagi bisa saling menjangkau ketika memeluk Ibu. Mereka sudah besar.
Kurengkuh lembut perut Ibu, “Selamat pagi Pangeran dan Tuan Putri.”
Ibu hanya tersenyum memandangiku, membelai lembut rambutku yang masih acak-acakan ini.
“Ayo, Ifa. Sudah jam enam, nih. Nanti kamu terlambat sekolah.” Beliau beranjak dari ranjangku.
Mataku mengedar mencari jam dinding. Masih jam lima lebih lima belas menit. Selalu saja begini. Aku curiga, apa jangan-jangan seluruh ibu di dunia ini senang melebih-lebihkan waktu?
Ah, sudahlah. Tidak ada gunanya juga jika mau protes kepada Ibu. Lebih baik aku segera mandi, lalu salat subuh. Ehem, aku memang masih belum berkewajiban menunaikannya karena usiaku masih lima tahun. Tapi Bunda Fitri—salah satu guru di taman kanak-kanak tempatku menikmati masa kecil sekarang—pernah berkata, kalau tidak salat nanti bisa masuk neraka bersama para setan dengan wujud yang menyeramkan. Membayangkannya saja membuat bulu kudukku merinding.
Aku bergegas menduduki tempatku di meja makan setelah berpakaian rapi. Seperti biasa, aku, Ayah, dan Ibu sarapan bersama selayaknya sebuah keluarga yang harmonis.
“Hari ini waktunya cek kandungan lho, Yah- Oh, terima kasih, Ifa. ” Ibu tersenyum kepadaku. Dengan hati-hati kubantu beliau duduk.
“Perasaan baru kemarin kita ke Bu Dokter, sudah kangen lagi?” Ayah mendekat ke perut Ibu dan mengelusnya.
Ibu tersenyum, “Mereka sudah besar, Yah. Tinggal menghitung hari kelahirannya.”
Aku mendengarkan percakapan keduanya sambil menelan ludah memandang meja makan. Kepulan asap dari nasi goreng spesial buatan Ibu sangat menggoda selera. Segera suara sendok yang bersentuhan dengan piring khas suasana di meja makan terdengar berdentangan. Suasana yang sangat pas untuk memulai hari yang cerah.
***
Lonceng pulang sudah berdentang tiga puluh menit yang lalu. Ayah tidak kunjung datang dan disini sudah sepi. Otakku mulai menceracau, khawatir. Tidak biasanya Ayah terlambat begini. Sebenarnya ada apa?
“Kamu belum dijemput, Ifa?” Bunda Ayu, guru taman kanak-kanak tempatku bersekolah, bertanya dengan senyum lembut di wajahnya.
“Belum nih, Bunda. Ayah kemana ya, kok lama banget?”
Tepat setelah itu, sebuah mobil putih yang aku tidak tahu namanya merapat di depan gerbang sekolah. Pintunya terbuka dan seseorang keluar dari mobil itu. Aku celingukan penasaran siapa orang itu. Ah, kurasa tidak asing. Mataku membulat disusul senyumku yang merekah.
“Tante Lin!” Benar saja, orang itu adalah Tante Linda, adik dari Ibu.
“Ifa, maaf ya, baru Tante jemput. Kamu pasti kelamaan nunggu.” Beliau langsung berlari memelukku. Dielusnya pipiku dengan tangannya yang halus bak kain sutra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Playlist
Short StoryKumpulan cerita pendek yang terinspirasi dari lagu. Karena tiap-tiap lagu pilihanmu selalu memiliki kisah, kan?