ch.10 : Janji

87 15 0
                                    


Ku menemukanmu saat ku terjebak
Di situasi yang membuatku resah
Kau merangkulku di saat yang lain menindasku
Ingin rasanya aku selalu bersamamu

Tapi mengapa tiba-tiba seakan kau pergi

Melepas rangkulanmu dan berhenti melindungiku tanpa sebab


Resah Jadi Luka - Daun Jatuh

________________________________________________________

"Gue gak setuju kalau jadi Nikalakunti, masak nanti didandanin kayak iblis. Gue maunya jadi Dewi Sekartaji, titik!"

Keadaan kelas yang semula ramai tiba-tiba menjadi hening. Rahma, gadis yang baru saja berteriak, adalah penyebab suasana tidak menyenangkan ini.

"Gak bisa gitu, Ma. Kan, yang jadi Dewi Sekartaji itu Syahda. Ini udah jadi hasil diskusi kelas. Syahda yang jadi Dewi Sekartaji di lomba drama dies natalis sekolah nanti," jelas Tari, seorang teman sekelasnya, dengan kejengkelan yang terlihat jelas di wajahnya.

"Gak bisa! Pokoknya-"

Rahma belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Tari berseru sambil menggebrak meja. "Lo itu jadi orang jangan egois dong!"

Semua orang hampir-hampir menahan napas mereka. Tidak ada yang berani beranjak dari tempat duduk mereka. Tiba-tiba, bagai angin segar, tedengar suara salam dari bibir pintu. Sontak semua orang menghela napas lega yang kentara sambil menjawab salam, lalu pelan-pelan membubarkan diri. Rahma meninggalkan kelas setelah memberikan tatapan sengit pada Tari, yang menatap tak kalah tajamnya.

Bayu˗ketua kelas mereka˗orang yang tadi mengucap salam, memasuki kelas dengan wajah lelah dan pucat. Wakilnya, Syahda, mendekatinya diam-diam dan bertanya pelan. "Sakit lo, Bro?"

"Heeh, cuma pusing dikit," jawab Bayu santai

"Pucet banget lo, kurang darah kali. Apa gue ambilin pil merah yang biasanya dibagiin sama anak PMR? Katanya buat tambah darah." Syahda mengusulkan dengan serius, tapi Bayu malah tertawa.

"Yang itu buat cewek, Ndeng. Lo yang cewek masak gak tempe. Lagian, yaiyalah pucet, namanya juga pusing." Bayu menggeleng-gelengkan kepala heran.

Syahda meringis. "Ya gimana, ya. Biasanya itu pil nyasar ke sembarang meja sih, ya gue mana tau kalau cuman buat cewek..."

"Halah, iya-iya, deh. Tadi kenapa lagi?"

"Biasa, si Rahma." Syahda menghela napas lelah dan menceritakan semua yang tejadi di kelas. Tentang Rahma yang egois dan semaunya sendiri, terutama, juga tentang perseteruan tadi.

Bayu terdiam sebentar mendengar perkataan Syahda, lalu bertanya, "Sekarang Rahma di mana?"

***

Bayu berjalan melewati lorong depan kelasnya. Sesekali ia tersenyum tipis untuk menyapa dan membalas sapaan. Bayu si ketua basket yang ramah, keren, gant-udah, udah. Dilanjutin lagi, jadi profil diri, nih. Pokoknya, bisa dibilang Bayu lumayan dikenal di sekolah.

Bayu sekarang ia berdiri tepat di bibir tangga menuju lantai dua, tempat perpustakaan berada. Ia tersenyum saat memasuki ruangan, tiba-tiba teringat bahwa Rahma memang sangat menyukai buku. Bayu mamandang ke penjuru perpustakaan. Pandangannya kemudian terjatuh pada gadis yang sedang membaca buku di meja baca dekat sudut perpustakaan. Dengan segera, Bayu menghampirinya.

"Ma," panggil Bayu dengan suara lirih, takut mengganggu orang lain.

Rahma menoleh dari buku bacaannya, ia memandang Bayu dan mendengus sambil tersenyum miring, terkesan menghina."Ngapain ke sini, Bay? Tumben. Mau baca buku? Eh, tapi gak ada bukunya. Berarti Cuma ada satu kemungkinan, pasti mau ngasih ceramah lagi ya, Pak?"

PlaylistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang