Cause I'm not alone
You are my warming home
Who I was yesterday and who I am today
And who we will be tomorrow
It all starts from homeFrom Home - NCT U
________________________________________________________
"Radin, libur semester ini kamu pulang, kan?"
Aku terdiam mendengar pertanyaan Mama di seberang telepon. Dengan lirih kujawab," Radin belum tahu, Buk."
Sejenak Mama tidak mengatakan apapun, lalu terdengar helaan napas pelan dari sana. "Pulang, Nak. Sehancur apapun hati kamu. Setidaknya di sini ada Mama dan Radit."
Kugertakkan gigiku, rahangku terasa sakit karena menahan tangis. Tetapi akhirnya sia-sia juga, tak berhasil. Sebuah isakan lolos dariku. Suara Mama tidak terdengar sejenak.
"Pulang dan temui Arya sebentar, Radin. Kamu belum mengucapkan apa-apa, dulu. Arya pasti menginginkan perpisahan dari kamu."
Dan runtuh sudah. Aku menangis terisak-isak, memukul-mukuli dada. Berharap rasa sakit yang menghujam bisa berkurang barang sedikit. Berharap rasa kosong ini bisa sirna barang sekejap.
***
"Bang, tiba-tiba gak pengen berangkat." Aku memasang muka memelas. Sebuah koper dan dan tas ransel sudah berada di sampingku. Di teras rumah ini, aku dengan gelisah menunggu Mama mengeluarkan mobilnya.
Laki-laki di yang duduk di kursi sampingku tertawa. "Lah, terus gak kuliah gitu?"
Aku menggaruk-garuk kepala, bingung sendiri untuk menjawab. "Ya kuliah, tapi gak pengen berangkat. Jauh banget."
"Kemana Radin yang dulu katanya mau sekolah di Pluto segala?"
"Itu zaman aku masih punya cita-cita jadi Simba, Bang. Masih aja diinget, heran."
Lagi-lagi Bang Arya hanya mengeluarkan tawa khasnya. Laki-laki yang terpaut delapan tahun dariku ini adalah salah seorang paling penting di hidup seorang Radin. Sejak aku naik kelas lima SD, Mama harus menjadi kepala keluarga kami. Alhasil, seluruh perhatian Mama tercurahkan pada Radit, yang masih kecil, dan pekerjaannya sebagai dokter. Aku yang kesepian pun mulai mengintili Bang Arya kemanapun dia pergi dan mengakuinya sebagai kakak yang tidak pernah aku punya.
Bang Arya tinggal di rumah sebelah bersama keluarga kakak perempuannya yang sudah menikah. Aku sebenarnya sudah mengenalnya sejak umur 7 tahun, karena ia selalu rajin menyapaku dengan senyuman yang menurutku saat itu lebih bersinar dari lampu mobil Mama.
"Kakak pasti sikat giginya pakai Komodo, ya?" Kataku, segumpal bakso berkedok bocah tujuh tahun, padanya dengan muka serius waktu itu. Berusaha keras mengingat-ingat merk pasta gigi yang diiklankan di televisi rumah.
Saat itu mungkin Bang Arya menghabiskan setengah jatah tertawa di hidupnya.
"Jurnal hariannya kamu bawa?" tanya Bang Arya.
Aku menganggukkan kepala. "Heeh, biar nggak dicolong sama Abang."
"Suudzon mulu," cibirnya.
"Bang, kalau aku nggak dapet temen gimana? Kalau ada apa-apa gimana?" Aku menatapnya cemas.
Bang Arya akhirnya meletakkan bukunya di meja, sepenuhnya menghadapku. "Mungkin akan ada apa-apa, tapi kamu nggak akan kenapa-napa. Kalau ada apa-apa telpon Tante Ratih atau Abang."
"Dih, gamau. Telponnya tiap hari lah. Masa cuman pas butuh doang."
Tawanya hari itu mengantarku pergi dengan hati lebih ringan. Pada akhirnya aku memang tidak menghubunginya setiap hari, tapi aku akan berbicara dengannya tiap aku membutuhkannya. Saat ketakutan dengan orang-orang yang tidak kukenal, tempat yang asing, dan kesendirian. Aku merasa tenang kembali mendengar suara tawanya, guyonan anehnya, dan nasehat-nasehatnya. Dia bagai pesulap dengan 1001 trik untuk membalikkan hari-hari burukku. Namun, dia kadang juga bertingkah seperti bapak-bapak paranoid dan aku adalah anak kecil yang dicemaskannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Playlist
Short StoryKumpulan cerita pendek yang terinspirasi dari lagu. Karena tiap-tiap lagu pilihanmu selalu memiliki kisah, kan?