11

911 94 24
                                    


Alarm berdering. Hari keenam lockdown. Jaehyun mematikan alarm ponselnya. Ia sudah lebih dulu bangun.

Semalam setelah Doyoung masuk ke kamar, Jaehyun tidak langsung turun. Ia tetap duduk dalam keheningan malam. Ia melamun. Banyak hal yang melintas dalam benaknya. Hari akan berakhir dan itu membuat Jaehyun risau. Kesempatannya berada dalam jarak yang begitu dekat semakin terkikis. Semalam adalah hari kelima lockdown dan hari esoknya adalah keenam. Hari esoknya lagi adalah hari ketujuh, hari terakhir lockdown.  

Penetapan kebijakan selajutnya akan dijatuhkan di hari keenam dan tidak ada kepastian mengenai perpanjangan. Kejadian yang memiliki peluang terbesar adalah adanya masa yang disebut dalam benak Jaehyun sebagai masa rehat, masa di mana aturan dilonggarkan dan orang-orang boleh berlalu lalang. Jika itu yang terjadi, Jaehyun tentu akan ditelpon ibunya dan harus mencari tempat tinggal lain. Sebenarnya, bisa saja ia meminta izin pada paman dan bibinya untuk tetap tinggal, tapi rasanya tidak etis. Di sisi lain, orang yang diinginkannya pun sudah menyinggung masalah itu. Jaehyun bukannya tidak paham kode yang diberikan Doyoung.

Jaehyun mengusap wajahnya dengan kasar kemudian menumpukan kedua tangan pada lutut. Rasa sesal membuatnya ingin memukul dirinya sendiri. Seandainya saat itu ia tidak begitu cemas. Seandainya saja saat itu ia tidak begitu termakan keadaan dan berakhir gelap mata. Setelah itu, ia menyesali egonya, harga dirinya yang begitu tinggi dan tidak ingin mengalah. Seandainya saja ia menghubungi Doyoung untuk sekedar meminta maaf.

Lama duduk di pinggir kasur, Jaehyun membawa dirinya keluar kamar. Masih di pintu kamar dengan tangan yang memegang kenop pintu, Jaehyun melihat dapur sudah memperlihatkan kesibukan dan siapa lagi kalau Doyoung yang tengah beraktivitas. Namun, Jaehyun tidak melihat Doyoung di sana.

Jaehyun kemudian mendengar gonggongan Milo dari arah depan. Milo tengah bermain-main di atas rumput sementara Doyoung menyiram tanaman. Dari kaca jendela, Jaehyun tidak bisa memastikan suasana hati Doyoung. Ia terlihat fokus menyiram tanaman sambil sesekali mengarahkan selang air ke Milo. Itu terlihat jahil tapi Jaehyun tidak melihat raut sumringah di wajah Doyoung. Bibirnya terkatup tanpa ada lengkungan di belah bibirnya yang berarti. Ke bawah tidak, ke atas tidak. Datar begitu saja.

Jaehyun akhirnya melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Setidaknya, ia harus terlihat segar di pagi hari. Sebelum masuk ke kamar mandi, Jaehyun memeriksa masakan Doyoung sejenak, memastikan apakah sudah matang atau belum, atau mungkin sudah kelebihan masak. Begitu melihat ke atas kompor, Jaehyun tahu Doyoung sudah memperhitungkannya. Aroma itu menggoda tapi Jaehyun menahan diri. Ia tahu ia bisa menikmatinya nanti. Setelah itu, Jaehyun mandi untuk menyegarkan badan.

.

.

Jaehyun keluar dari kamar mandi. Kompor sudah mati. Ia melihat Doyoung yang menata makanan di atas meja. 

"Selamat pagi," sapa Jaehyun.

"Selamat pagi," balas Doyoung tanpa menatapnya.

Jaehyun meletakkan baju kotornya dan menjemur handuk di halaman belakang. Ia melihat Milo sedang memakan sarapannya di sana. Anjing itu hanya menoleh sebentar lalu mengabaikannya. Ia terlihat rakus. Mungkin kelaparan setelah bermain di depan.

Jaehyun kembali masuk ke dalam. Ia melihat Doyoung hanya menyiapkan satu piring di meja makan. Entah itu untuk dirinya sendiri atau Jaehyun.

"Kita sarapan bersama, kan?" tanya Jaehyun sambil berjalan mendekat ke meja.

Kali ini Doyoung menatapnya. "Kau duluan saja. Aku belum mandi," katanya sambil mengarahkan telunjuk ke atas.

Jaehyun berjalan menuju rak piring dan mengambil satu piring dan sendok. "Aku tunggu." Ia meletakkan piring dan sendok itu di atas meja. Jaehyun menarik kursi dan duduk di atasnya. Kemudian, ia melipat tangan di atas meja. Doyoung yang hendak menolak melihat itu dan mengurungkan niatnya. Dasar pemaksa, gerutunya dalam hati. Mau tak mau ia mengikuti kemauan Jaehyun.

KarantinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang