Pertemuan Pertama

17 0 0
                                    

Apa kalian memiliki idola? Pernah bertemu dengannya? Apa yang sudah kalian lakukan untuk bisa mengenal atau sekadar bertemu dengan sang idola?

Cerita ini saya angkat karena melihat fenomena banyaknya anak zaman now yang 'tergila-gila' dengan idolanya. Tapi, hanya sebatas terinspirasi, isinya jauh dari sekadar 'ngefans' dengan idola. Tentunya ada 'isi' yang bisa diambil sebagai pelajaran. Penasaran gak?
Cekidot 😊

🌻🌻🌻

Part 1
Pertemuan Pertama

Dua hari yang lalu aku diajak Desi--adik dari teman Kakakku--untuk mengikuti casting sebuah film. Awalnya aku berniat menemani saja. Namun, setelah sampai lokasi, diri ini tertantang untuk mencobanya. Di sanalah aku bertemu dengan Pak Rizal, seorang sutradara.

Saat mendengar namanya, aku jadi teringat dengan tawaran Bu Yunita. Beliau adalah seorang editor sekaligus pimpinan salah satu rumah produksi di bilangan Jakarta. Berkat jasa beliau, naskah cerbungku berhasil dicetak menjadi sebuah novel. Alhamdulillah atas izin Allah, penjualan novelku laris.

Bu Yunita bilang, ada seorang sutradara kenalannya yang tertarik dengan cerita novelku. Katanya, sih, ingin difilmkan. Waktu itu, Bu Yunita mengatakannya lewat telepon. Kalau aku tidak salah ingat, nama sutradara itu Rizal.

Ya, Pak Rizal yang dimaksud adalah orang yang sama dengan yang aku temui di tempat casting saat itu. Rizal Saputra, seorang sutradara yang sudah menghasilkan beberapa film bagus. Salah satu di antaranya, sukses dan bertahan lama di bioskop seluruh Indonesia.

"Gimana, Ra, sudah ada gambaran? Kamu bisa lho, jadi figuran. Itung-itung buat pengalaman." Pak Rizal menghentikan lamunanku. Ia bertanya setelah menyerahkan naskah di mana dalam scene tersebut butuh pemeran figuran.

"Gimana, ya, Pak? Saya gak pede." Aku tertunduk, malu.

"Ayolah, pasti kamu bisa. Gak ada dialog yang perlu dihapal, kok."

Aku diminta memerankan tokoh seorang pramusaji kafe. Hanya sekali adegan, pada saat tokoh utama sedang menunggu temannya datang. Sebenarnya hati kecilku menginginkannya, tetapi aku paling sulit untuk tampil, apalagi bakalan ditonton banyak orang. Waktu ikut casting itu, jelas-jelas aku gagal, karena dialog-ku yang terdengar sangat gugup.

"Mau, ya?" pintanya lagi.

Mau tidak mau aku hanya mengangguk pasrah. Awalnya, aku hanya ingin menemani Desi shooting. Namun, lagi-lagi aku bertemu Pak Rizal di sini. Desi sendiri sekarang sedang melakukan satu adegan di tempat yang tidak jauh dari sini.

Apa aku bisa? Baiklah, Maura, kamu harus tunjukkan pada pak Rizal kalau kamu bisa. Seandainya Desi ada di sini, aku pasti akan meminta dia untuk menyemangatiku. Ma, Maura bakalan masuk TV. Ish, mikir apa, sih, aku? Belum tentu juga aku bisa. Huuft.

Tibalah saatnya aku berakting menjadi seorang pramusaji. Saat sang aktor sudah duduk di kursi, ia memanggilku. Aku lalu menghampiri, mencatat pesanannya tanpa bersuara. Sungguh, dalam hatiku detak jantung ini tidak seperti biasanya. Namun, sebisa mungkin aku bersikap wajar, menghalau rasa gugup yang melanda.

Aktingku hanya sampai membawakan pesanan ke meja, setelah itu selesai. Aku bernapas lega, saat sang sutradara berteriak, "Cut." Itu pertanda scene barusan selesai. Pak Rizal melirik dan senyum sekilas padaku sambil mengacungkan jempolnya.

*

Aku benar-benar tak menyangka, mimpiku sebentar lagi akan menjadi nyata. Bu Yunita menghubungiku lagi. Ia menyampaikan keputusan final kalau novelku bakalan difilmkan. Entah saat ini aku tak bisa berkata apa-apa, bahagia pastinya. Andai saja dia yang memerankan tokoh utamanya. Ya, dia sang idola, yang fotonya bertebaran dalam galeri ponselku.

Jodoh Sang PenulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang