Part 2
Love at First SightSegera kukenakan jilbab kaos navy yang tergantung di belakang pintu kamar. Kuambil kembali ponsel di kasur, syukurlah sudah dimatikan ternyata. Aku mengembuskan napas, lega. Sebenarnya aku masih penasaran, dia itu mau apa? Oya, mumpung ingat kusimpan nomor hp-nya. Siapa tahu, dia sering update story biar bisa kulihat.
*
"Maura ... ada temanmu datang."
"Iya, Ma." Siapa ya? Gegas kumelangkah ke ruang tamu.
"Eh Tika, duduk, Say." Aku berjalan menuju kursi.
"Gimana, Ra, acara kemarin? Pasti seru dong, ya, ketemu artis juga kan? Cerita dong."
"Duuuh satu-satu dong nanyanya, nanti aku ceritain, ya, di kamar."
Kami berdua pun menuju kamar. Aku, Tika dan Rani biasa menghabiskan waktu bersama dikamar untuk sekadar mengobrol atau pun curhat kalau di antara kami bertiga ada yang punya masalah. Biasanya Rani yang paling bisa bersikap dewasa. Sering memberi masukan, paling bisa membuat aku dan Tika nyaman untuk sekadar meluapkan segala beban di hati. Namun, setelah menikah ia diboyong suaminya ke Semarang.
"Maura ... ayo dong cerita, aku gak sabar banget nih pengen dengerin penulis kita yang katanya ketemu sang idola," bujuk Tika yang lebih terdengar seperti ejekan.
Aku hanya diam menanggapinya, tanganku meraih kripik dan memakannya.
"Cie ... cie ... tuh, kan, mukanya langsung merah, belum juga cerita."
"Apaan sih kamu, Tikaaa, aku gak jadi cerita nih."
"Iya, iya, Sayang, ayo cerita. Aku siap dengerin sambil ngemil."
"Jadi begini, kemarin itu ...." Baru mulai aku bercerita, terdengar bunyi panggilan di ponselku.
Nama Pak Rizal terpampang di layar, segera kuangkat.
"Hallo, assalamu'alaikum Pak Rizal."
"Wa'alaikumussalam Maura, besok kamu ada acara gak?"
"Gak ada pak, memang ada apa ya?"
Pak Rizal bilang, besok sebagian pemain film mau take shooting di puncak selama dua hari dua malam. Dia meminta aku untuk ikut melihat beberapa scene di sana. Katanya, ini biasa dilakukan para penulis, malah biasanya mereka yang meminta untuk ikut dan melihat proses shooting. Besok pagi aku harus siap-siap, karena akan berangkat jam enam dari kantor Pak Rizal.
"Oke, siap, Pak. InsyaAllah besok sebelum jam enam saya sudah tiba di kantor."
"Bagus. Oke itu saja, ya, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, Pak."
Kuletakkan ponsel di kasur. Tiba-tiba saja kepikiran lelaki berwajah oriental itu, besok pasti ada dia. Duuh bagaimana ini, bakalan ketemu terus selama dua hari. Rasanya masih malu deh.
"Ra ... Maura ... dehhh dia bengong, siapa yang telepon? Ganggu aja sih, baru mau dengerin cerita," tanya Tika kesal, bibirnya mengerucut.
"Pak Rizal, sutradara film. Besok aku harus ikut pergi ke puncak, mau ada shooting di sana. Katanya, sih, aku disuruh lihat-lihat aja. Lumayan juga sih, itung-itung refreshing, tapi ...."
"Tapi apa hayyo? Cerita dong ah, Hp-mu silent aja biar gak ganggu."
Aku menceritakan tentang Bagas yang mengirim pesan, menelepon bahkan berani video call. Aku menunjukkan percakapanku di aplikasi berlambang hijau itu pada Tika.
"Jadi, kalian udah tukeran nomor Hp nih, cieee gayung pun bersambut. Yaaa aku pasti seneng bangetlah kalau jadi kamu. Udah ngobrolin apa aja nih di telepon? Video call juga, duuuhh kalau teman-teman di grup tau, pasti rame banget deh ... oya kamu gak minta foto bareng ya? Aku gak lihat update story WA mu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Sang Penulis
RomanceBlurb: Bagai ditimpa durian runtuh, seorang sutradara melamar novel Maura untuk difilmkan. Lebih dari itu, ternyata pemeran utama dari project tersebut adalah Bagas, aktor yang selama ini sangat diidolakannya. Terlibat dalam satu project yang sama...