Ta'aruf

6 0 0
                                    

Part 4
Ta'aruf

Mendengarkan nasyid membuat mataku mengantuk. Lama-lama alunan nyanyian sudah tidak terdengar lagi dan mataku pun terpejam. Entah berapa lama aku tertidur. Suara bising klakson yang sangat kencang  membuat mataku terbuka.

"Sudah sampai mana kita?" tanyaku pada Audrey.

"Sebentar lagi sampai rumahku, Kak. Maaf, ya, aku duluan. Soalnya aku ada acara lain, gak apa-apa kan, Kak?"

"Iya gak apa-apa, nanti saya turun bareng kamu aja, ya, Audrey."

"Jangan, Kak, rumah Kak Maura kan masih lumayan jauh. Biar diantar sampai rumah aja, iya kan Bagas?"

"Siiaapp, dengan senang hati akan mengantar ke mana pun tuan putri mau," saut Bagas yang sedari tadi sibuk dengan kemudinya.

"Oke, tuan putri Audrey sudah sampai, silakan," ucap Bagas bak pelayan seorang tuan putri sungguhan.

"Ah, serah, lo deh kang supir, thank you. Bagas ... duluan yaa, Kak Maura, dahhh," ucap Audrey sambil melambaikan tangan.

"Ehhmm, berhubung kita tinggal berdua, kamu harus pindah ke depan, sini!"

"Aku turun di sini aja, ya, soalnya ada yang mau aku cari, mau beli sesuatu."

"Maura, aku tau kamu mau menghindar, kan? Kenapa? Aku gak galak kok, gak akan gigit kamu." Bagas mengerlingkan matanya.
Ish ini orang, apa sih? Tahu saja kalau aku berusaha menghindar darinya. Bukan apa-apa, aku pasti bakalan grogi, bisa-bisa badanku gemetar hebat berada dekat dengannya.

"Oke, aku pindah ke depan, tapi ada syaratnya. Nanti kamu cukup antar aku sampai pertigaan gang rumahku, ya."

"Terserah, yang penting kamu duduk di sini untuk jadi penunjuk arah. Aku kan belum tau rumah kamu."

Owalah, ternyata maksudnya buat jadi penunjuk arah, ahh sudah ge-er duluan, dasar aku. Huffttt.

Alhamdulillah lelaki berhidung bangir ini tidak berbuat yang aneh-aneh. Hanya sesekali mencuri pandang ke arahku. Tidak sampai tiga puluh menit, mobil berhenti di pertigaan sesuai arahanku.

"Bagas, aku duluan ya. Makasih banyak udah nganter aku pulang," ucapku sambil melepas sabuk pengaman.

"Eh, tunggu dulu. Emmm ... kamu gak ada yang mau disampaikan lagi, gitu?" tanyanya ragu.
Aku mengernyitkan dahi, bingung maksudnya apa.

"Gak ada, emang ada apa lagi?"

"Yaa, gak ada sih. Eh, itu di pipi kamu ada bekas iler," ucap Bagas sambil terkekeh.

"Ah, yang bener?" Refleks kubuang muka ke arah kaca, malu. Masa sih? Apa tidurku tadi sepulas itu sampai ileran?

"Hahahaha ... kamu lucu, ya." Bagas tergelak.
Aku keluarkan bedak dari dalam tas, lalu kulihat pipiku dari pantulan cermin kecil. Ish, aku kena dikerjai lagi.

"Kamu ... ya, ish, awas aja nanti. Udah ah." Kesal, kubuka pintu mobil, bergegas ke luar dan langsung berjalan cepat meninggalkan Bagas.

"Heiii, Maura ... sampai ketemu lagi."
Aku menoleh sejenak, kulihat Bagas melambaikan tangannya.

*

Sore hari.

"De, kakak mau tanya satu hal sama kamu."

"Apa, Kak? jangan susah-susah ya, aku gak punya contekan, hehee."

"Ah kamu, kali ini kakak serius. Kamu sudah ada calon belum?"

"Calon? Calon apa kak?" tanyaku pura-pura tak mengerti.

"Maura, kakak serius ih. Kalau kamu belum ada calon, kakak mau ngenalin kamu sama adiknya teman kakak, gimana?"

Benar dugaanku, pasti kakak ingin menjodohkan aku dengan seseorang.

"Kak, aku belum siap nikah. Aku masih mau berbakti sama mama, masih harus bantu usaha mama, masih--"

Belum selesai aku bicara, kakak memotongnya.
"De, ingat usiamu sekarang berapa? Semua yang kamu bilang barusan, bisa tetap kamu lakukan setelah menikah, kamu bisa tetap tinggal disini."

"Entahlah, Kak, aku bingung." Otakku tiba-tiba teringat Bagas. Ah dasar manusia aneh, kenapa dia lagi sih.

"De, ayolah, biar kakak hubungi Santi, agar dia datang dengan adiknya nanti malam, yaa."

Aku melihat sebuah harapan dalam matanya. Kakak, sanggupkah aku menolak keinginannya ini? Mengingat begitu berjasanya kakak selama ini padaku. Adik macam apa aku kalau sampai menolak keinginannya demi egoku. Tiba-tiba pelipisku berdenyut, kepalaku sedikit pusing.

"Kak, boleh aku lihat foto orang itu? Kakak ada, kan? Jadi nanti aku gak akan kaget lihat wajahnya."

"Kamu ini, tenang aja dia itu gak jelek, gak ganteng juga sih tapi dia cukup menarik menurut kakak," ucap Kak Mirna sambil memperlihatkan foto lelaki itu di ponselnya.

"Hhmmm, wajahnya kayak pernah aku lihat. Di mana, ya?"

Kakak menjelaskan panjang lebar tentang lelaki itu. Danu Prasetya namanya, kuliah satu kampus denganku dulu, satu fakultas tapi beda jurusan. Pantas saja wajahnya tak asing bagiku.

"Oke, bolehlah kenalan dulu, tapi kalau aku merasa gak cocok bisa, kan, gak diteruskan ta'arufnya?"

"Bisa aja, tapi kamu harus istikhoroh dulu ya. Sebenarnya, kalau ada pemuda baik dan saleh datang pada kita, jangan ditolak. Kayaknya kamu bakalan suka sama dia, lihat aja nanti. Ya udah kakak info Santi dulu ya, biar dia siap-siap. Kamu juga sana, siap-siap. Pakai gamis yang bagus."

*

Danu dan Kak Santi sudah satu jam duduk di ruang tamu. Kak Mirna dan Mama menemani mereka sambil berbicara banyak hal. Sempat terdengar obrolan hangat antara mereka. Danu lebih banyak diam sepertinya.

Aku memilih tinggal di kamar setelah proses ta'aruf selesai. Dari bicaranya, Danu terlihat sangat terpelajar, agak kaku sih menurutku. Mungkin karena nervous, entahlah. Sesekali dia menatapku saat memperkenalkan dirinya, menjelaskan kriteria pendamping yang ia inginkan.

Lagi-lagi aku teringat Bagas, membuatku tidak fokus dengan perkenalan tadi. Memang betul kata Kak Mirna, kalau ada lelaki baik dan saleh datang padamu (ingin menikahimu) maka sebaiknya jangan kau tolak. Kak Mirna bukan tanpa alasan mengenalkanku pada Danu. Menurutnya, dia itu lelaki saleh, pergaulannya baik, tidak macam-macam. Kakak juga sudah mengenal baik orang tuanya. Namun, dari perkenalan tadi, aku tak ada feeling sama sekali. Tidak ada keyakinan dalam hati. Malah Bagas yang menari-nari dalam pikiranku.

"Maura ...  sini, Sayang. Danu mau pulang," panggil Mama dari depan.
Syukurlah, akhirnya dia pulang juga.

"Iya, Ma, sebentar."

Segera aku ke luar kamar. Aku harus pasang wajah seramah mungkin.

"Maura, Kak Santi dan Danu pamit pulang dulu, ya. Kami tunggu lho kabar selanjutnya," ucap Kak Santi sambil bersalaman denganku.

"I-iya, Kak, nanti aku kabari."

"Maura, saya pamit, ya. Semoga ada kabar baik nantinya." Danu pamit, dia menelungkupkan tangannya di dada.

Kami mengantar Kak Santi dan Danu sampai teras depan. Kepalaku masih sedikit pusing, mungkin karena memikirkan perjodohan ini. Entahlah, malam ini ingin tidur lebih cepat, agar bisa bangun di sepertiga malam nanti, meminta petunjuk Sang Maha Cinta, agar aku tidak salah mengambil keputusan.

*

"Ra, kenapa kamu terima perjodohan itu? Apa kamu gak mikirin perasaan aku?"

Aku hanya diam mendengar Bagas bicara dari tadi. Aku tahu dia pasti kecewa, marah, sakit hati. Akan tetapi, ini pilihanku, sudah aku pertimbangkan baik-baik.

"Kamu tega, Ra, padahal kamu pernah bilang kalau kamu mulai menyukaiku, kamu juga bilang rasa cinta akan tumbuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Kamu pun mengiyakan waktu aku tanya, maukah kamu jadi teman hidupku? Tapi kenapa sekarang kamu terima orang lain? Kenapa, Ra? Jawab!"

Bersambung

Jodoh Sang PenulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang