Poligami

3 0 0
                                    

Part 5
Poligami

Aku terbangun karena mendengar suara alarm di ponsel. Pukul 03.00. Bagas. Lagi, aku bermimpi. Ini kali kedua aku bermimpi tentangnya. Mengapa terasa begitu nyata? Oh Allah, apa ini petunjuk-Mu?

Tidak ingin terlarut dalam pikiran, segera aku melangkah ke kamar mandi, ambil wudhu. Kutuangkan semua kegelisahanku pada-Nya. Semoga setelah ini, Allah menuntunku dalam mengambil keputusan, memantapkan hati dengan pilihanku.

*

"Kak, maafin aku, ya. Aku sudah mantap dengan pilihanku, aku harap Kakak gak kecewa."

Kak Mirna tersenyum, ia mendekat dan menatapku lekat. Lagi, aku tak sanggup melihat tatapan matanya, karena sama sekali tak ada bias kecewa atau pun marah dengan keputusan yang kuambil. Kak Mirna memang sangat bijak, tidak pernah memaksa dalam berkehendak. Aku sungguh beruntung mempunyai seorang kakak seperti Kak Mirna.

"Kakak gak kecewa, kamu berhak menentukan sendiri pilihan hidupmu, apalagi ini untuk masa depanmu. Menikah itu hanya sekali seumur hidup. Kalau kamu gak yakin dengan Danu, ya kakak gak bisa maksa. Kamu juga sudah istikhoroh, ya, kan?"

"Semoga ini yang terbaik ya, Kak, semoga Danu juga bisa mengerti."

Kak Mirna memelukku, tangannya mengusap punggungku berkali-kali. Ia lalu berucap lirih di telingaku, "Nanti ceritakan tentang dia, ya."
Sontak kulepas pelukannya, mataku membulat. Aku terkejut dengan apa yang Kak Mirna ucapkan.

"Maksud Kakak?"

"Udah, ah. Kakak tau, kok. Kakak tunggu cerita tentang pangeran yang udah bikin kamu menolak Danu." Kak Mirna berlalu sambil terkekeh.

Siapa yang memberitahu Kak Mirna? Apa mungkin Mama? Tapi, kan, Mama tidak mengetahui tentang perasaanku ini. Rasa? Bahkan aku sendiri masih ragu dengan rasa ini.

*

Tiga bulan sudah berlalu sejak ta'aruf itu. Sudah tiga bulan juga aku tidak bertemu dengannya. Tidak ada pesan maupun telepon. Bagas, apa kabar kamu? Aku rindu. Kuambil ponsel, mencoba berselancar di akun sosial medianya. Begitu kubuka, fotonya yang pertama terlihat di timeline. Kubaca caption-nya.

'Seberapa jauh kau melangkah, berapa kali pun kau menghindar, cinta akan tetap datang menemukan jalannya.'

Seperti biasa, foto itu banjir komentar. Aku scroll terus, tidak banyak postingan dia. Hanya beberapa foto sewaktu shooting. Tidak ada yang aneh, pikirku. Mungkin aku saja yang terlalu kepikiran. Maura ... Maura ... mana mungkin dia ada rasa sama kamu?

Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari Pak Rizal.

"Halo, assalamu'alaikum, Pak."

"Wa'alaikumussalam, Maura."

Pak Rizal memintaku untuk datang makan malam di sebuah kafe bersama para artis. Katanya, ada acara syukuran selesainya syuting. Tidak berselang lama, pesan masuk dari Pak Rizal memberikan alamat lengkap dan nama kafe.

Nanti malam aku akan bertemu Bagas. Akhirnya, setelah lama tak jumpa. Entahlah, ada debar yang tak biasa. Rasa apa ini? Tuhan, apa benar aku t'lah jatuh cinta padanya?

*

Selesai sudah aku bercermin. Tunik warna krem dipadukan dengan jilbab salem. Sedikit polesan di bibir dan wajahku agar terlihat segar. Oke, sekarang waktunya memesan ojek online.

Udara malam begitu dingin menyapa. Aku lupa mengenakan jaket. Beruntung, alamat kafe tidak terlalu jauh dari rumah. Kenapa, ya, aku agak nervous? apa karena akan bertemu Bagas? Ah dia lagi. Suara driver 'ojol' membuyarkan lamunanku.

"Sudah sampai, Kak."

"Oh iya."

Segera, kuturun dari motor, kubuka helm dan tak lupa membayar ongkosnya. Lalu aku melangkah memasuki kafe.

Pandanganku menyapu seluruh sudut ruang, mencari seseorang yang mungkin kukenal, tapi nihil. Seorang waitress menghampiriku.
"Silakan, Kak."

"Iya, Mba. Saya diundang oleh Pak Rizal, di meja mana ya? Bisa tolong tunjukan?"

"Oh, silakan, Kak, ikut saya. Pak Rizal belum datang, Kakak tunggu saja dulu."

Waitress itu mengantarku ke sebuah meja yang sudah dibooking. kenapa mejanya hanya untuk empat orang? Aneh. Sudahlah aku duduk saja. Sekitar lima menit menunggu, akhirnya Pak Rizal datang.

"Maura, sudah lama nunggu? Maaf ya, jalanan agak macet tadi. Kamu belum pesan makan?"

"Belum, Pak. Nanti aja biar bareng-bareng. Yang lain mana, ya, Pak?"

"Emm sebentar saya panggil pelayan dulu, Mbaa, sini!"

Seorang waitress menghampiri kami, mencatat beberapa pesanan. Kenapa Pak Rizal tidak menunggu yang lain datang ya? Dia juga belum menjawab pertanyaanku. Aku agak sungkan kalau hanya berdua saja.

"Maura, sebelumnya saya mau minta maaf sama kamu. Saya sengaja mengundang kamu makan malam, karena ada yang mau saya bicarakan."

"Maksud bapak apa? Bukannya ini undangan syukuran seperti yang bapak bilang tadi ditelpon?"

"Bukan, undangan ini khusus untuk kamu. Jadi kita makan malam hanya berdua, kamu gak keberatan, kan? Santai saja, gak usah sungkan."

"I-iya, Pak, tapi apa yang mau Bapak bicarakan dengan saya?"

Dua orang pelayan menghampiri meja kami, membawa semua pesanan. Mencium aroma masakan, seketika perutku berbunyi. Aku memang sengaja belum makan, karena ingin makan enak, pikirku.

"Maura, kita makan dulu, ya. Nanti setelah makan kita lanjut bicara."

"Iya, Pak." Perutku memang sudah sangat lapar.
Rasanya canggung juga makan berdua seperti ini. Beberapa kali Pak Rizal melirik ke arahku, tatapan matanya menyiratkan sesuatu. Aku jadi risih dibuatnya.

"Emmm Pak, apa yang mau Bapak bicarakan, jawab aja sekarang, gak apa-apa kan sambil makan, biar gak sepi."

"Oke, tapi kamu janji harus habiskan makanmu, ya."

Aku hanya menganggukan kepala.

"Saya ingin mengutarakan keinginan saya."

"Maksud Bapak?"

Pak Rizal bilang, kalau ia tertarik denganku sejak melihat foto yang aku kirim untuk kelengkapan persyaratan dokumen penulis dari penerbit. Ia berniat ingin melamarku untuk menjadi istrinya. Pak Rizal ingin sekali punya seorang anak laki-laki. Namun, sang istri tidak mungkin bisa melahirkan lagi, karena rahimnya sudah diangkat. Pak Rizal hanya punya satu anak perempuan. Makanya, ia ingin menikah lagi agar bisa mendapat anak laki-laki.

"Tapi, Pak, maaf saya gak bisa terima Bapak. Saya mohon maaf, Pak, apa Bapak gak memikirkan bagaimana perasaan istri Bapak?"

"Kamu tenang saja Maura, istri saya sudah tau keinginan saya ini. Walaupun awalnya dia menolak, tapi sekarang sudah rela mengikhlaskan kalau saya menikah lagi. Nanti, kamu saya kenalkan padanya."

"Sekali lagi, mohon maaf, Pak Rizal, saya gak bisa terima. Saya cukup terkejut dengan semua ini. Saya gak menyangka Bapak ada niat seperti itu, saya ... saya ...  maaf, Pak, saya mau pulang."

Aku beranjak pergi meninggalkan meja dengan setengah berlari. Ada sedikit sesak di dada. Entahlah perasaanku campur aduk sekarang. Terdengar langkah kaki mengejar di belakang.

"Maura, tunggu. Saya belum selesai bicara. Maura ...."

Aku terus berlari menjauh dari kafe, tiba-tiba saja ada mobil berhenti di sampingku.

"Maura, kamu ngapain malam-malam begini lari-larian?"

Apa aku tidak salah lihat? Bagas. Dia datang di waktu yang tepat. Alhamdulillah.

"Bagas, syukurlah ada kamu, aku masuk ya." Tanpa menunggu jawaban Bagas, aku masuk ke dalam mobilnya.

"Ada apa sih ini?" tanya Bagas bingung.

"Nanti aku ceritain, sekarang jalan aja. Keburu Pak Rizal datang."

"Pak Rizal?"

"Udah, jangan banyak tanya, cepetan jalan!"

Bersambung

Jodoh Sang PenulisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang