Bab 8
Poligami 2"Saya datang sendiri. Saya gak mau berlama-lama di sini, Bapak langsung ke inti pembicaraan saja."
"Kamu yakin tadi datang sendiri?"
Gawat nih, Pak Rizal masih curiga."Bapak lihat kan, Saya datang sendiri," jawabku tegas.
"Ok, saya percaya."
Pak Rizal pun mulai mengutarakan kembali keinginannya untuk menikahiku. Banyak sekali janji manis yang ia ucapkan. Katanya, kalau aku sudah menjadi istrinya nanti akan diajak pergi umrah. Bukan hanya aku, tetapi ia juga akan mengajak ibu. Apartemen yang ia tempati ini otomatis akan menjadi milikku. Aku bisa melanjutkan pendidikan S2, dan masih banyak janji lain yang kesemuanya hanya berdasar materi. Lantas ia pikir aku tertarik dengan semua itu?
"Maaf, ya, Pak. Saya tetap menolak." Aku kira kalimatku barusan sudah sangat singkat dan jelas. Tidak perlu memberitahukan alasan mengapa aku menolaknya.
"Kalau sudah gak ada yang mau dibicarakan lagi, saya pamit pulang."
"Tunggu dulu dong, Maura. Kenapa kamu menolak saya? Kehidupanmu akan lebih terjamin nantinya. Kamu bisa ajak ibumu tinggal di sini."
"Mestinya Bapak tau jawabannya! Apa Bapak gak memikirkan perasaan istri Bapak?"
"Kan sudah saya bilang, istri saya sudah setuju. Kamu gak perlu memikirkan hal itu."
"Maaf, tapi saya gak percaya."
"Ok, kalau kamu gak percaya! kamu bisa tanya langsung. Bahkan kamu boleh bertemu dengannya."
Emosi kian memuncak, tapi aku harus bisa meredamnya. Bisa saja aku berkata-kata kasar, memakinya. Apalagi kalau melihat tatapan liar matanya, rasanya ingin kutampar wajahnya. Aku geram.
"Saya rasa gak perlu, karena saya mau masalah ini selesai sekarang juga, Pak! Tolong Bapak batalkan niat ini. Hati wanita itu lembut, Pak. Walau ia setuju dan bersedia dimadu, tapi percayalah di lubuk hati terdalamnya ia sangat terluka. Merasa gagal mempertahankan keutuhan cintanya."
Entah apa yang merasukiku, kata-kata itu meluncur begitu saja dari lidahku. Semoga Pak Rizal paham. Ia terlihat sedang berpikir, kedua alisnya saling bertaut.
"Baiklah, saya hargai keputusan kamu."
"Jadi, saya bisa pulang sekarang?"
"Ya, silahkan."
"Terimakasih. Saya pamit pulang."
Akhirnya aku lega sekarang. Kutinggalkan Pak Rizal yang masih duduk di kafe. Sebenarnya aku masih sedikit curiga dengan tatapan matanya, walau ia bilang sudah bisa menerima keputusanku. Seperti ada yang disembunyikan. Entahlah, semoga kedepannya hubungan kami baik-baik saja.
Langkahku menuju ke luar gedung, mencari sosok yang dari tadi tidak terlihat. Tiba-tiba bunyi pesan masuk diponselku.
"Ra, aku tunggu di depan minimarket ya. Kamu jalan ke arah kiri gedung, pasti ketemu."
Ya ampun, kenapa makhluk ini suka sekali sama minimarket. Bisa-bisanya dia meninggalkan aku, katanya mau memantau. Untung saja Pak Rizal tidak berbuat aneh tadi.
Tidak sulit untukku menemukan minimarket yang dimaksud. Benar saja, ada mobil dia terparkir di sana. Kudekati mobilnya, tak lama kemudian muncul sosok pria bermata sipit itu dari pintu depan."Gimana, Ra? tanya Bagas.
"Nanti aja aku cerita di mobil."
"Emang siapa yang mau nganter kamu pulang?" tanyanya lagi, sambil terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Sang Penulis
RomantikBlurb: Bagai ditimpa durian runtuh, seorang sutradara melamar novel Maura untuk difilmkan. Lebih dari itu, ternyata pemeran utama dari project tersebut adalah Bagas, aktor yang selama ini sangat diidolakannya. Terlibat dalam satu project yang sama...