26. Akhir 2

1.7K 231 4
                                    

Cerita ini hanya fiktif
Karakter di dalamnya masih milik Masashi Kishimoto
Selamat membaca
❤❤❤

Hari itu mereka pernah bersua. Seperti sekarang, payung senja menjadi atap indah untuk dua pasang sejoli yang tidak ditakdirkan bersama. Mereka juga pernah duduk dengan tawa. Dengan seduhan coklat yang mampu membawa manis dari warna pekatnya. Sang pria dengan cinta setengah hatinya bercerita mengenai bagaimana dia mencintainya. Dan sang wanita yang kelewat tidak peka berkisah banyak tentang caranya menyakitinya.

Alun-alun kota menjadi saksi. Tentang kisah cintanya yang dipendam sendiri.

Pemilik surai merah bata menarik ribuan partikel udara demi memenuhi paru-parunya. Sang surya masih bertahta meski keelokannya sebentar lagi tergerus awan gelap. Sepasang kaki berbalut pantofel hitam bergeming di bawah halte bis. Kemudian pasang matanya beralih pijakan, tak lagi memandang wira-wiri jejeran kendaraan yang melintas. Pemuda itu menerawang sendu taman alun-alun yang pernah jadi kenangan. Antara dia dan si belahan jiwa yang lama tak berjumpa.

Jika ditanya, hatinya masih tergerus lara bukan karena permintaan pria pirang tetapi sampai dititik ini pun nama yang menempati Hinata tetap bukan dirinya. Jadi Gaara menyerah. Merelakan si gadis berbahagia.

Tepat setelah dirinya ingin melarikan kaki ke dalam bus yang baru tiba, netra hijaunya menangkap siluet yang sudah lama tak dijumpai raganya. Walau topi berwarna merah membatasi gerak lambaian ungu gelap juga kacamata hitam membingkai mata mutiaranya, Gaara mampu mengenalinya. Tanpa perlu berpikir panjang, dia beranjak. Mengurungkan niatnya pulang, tumitnya memilih menghampiri sang cinta yang terdiam di bangku taman.

"Hinata..." panggilan bernada desahan rindu menyentak penghuni bangku yang tengah berada dalam angan.

Lehernya berputar mencari si pemanggil. Aura ceria melingkupi paras si pemuda yang Hinata kenal sangat jarang tertawa.
"Gaara!" pekik Hinata kaget.

Merasa namanya terpanggil, Gaara melangkah mantap mendekati sisi kosong bangku yang belum terisi.

"Saya pikir Hinata tersesat makanya saya kemari." Si pemuda kembali memulai sandiwara dengan senyuman tulus yang mengitari parasnya. Selalu seperti itu, padahal seonggok jantung di sana telah porak.
"Wajahmu jelek jika murung." Dan diakhiri candaan seperti biasa. Namun Gaara tak berbohong, dalam menyelami lamunan wajah Hinata yang diserang duka tak menarik minatnya. Karena dia bahagia ketika Hinata tertawa.

Hinata mendesah. Tatapannya semakin sendu.
"Aku pikir kau tidak mau lagi bertemu denganku. Kau pasti sudah sedikit banyak membaca tentangku."

Gaara tersenyum tipis. "Lalu kenapa? Saya mengenalmu dari mata Hinata bukan dari pendapat orang," timpalnya sembari membenarkan posisi duduknya mencari tempat ternyaman. "Jika saya pergi ke alun-alun kota pasti selalu teringat tentang Hinata."

Pandangan Gaara menerawang. Bukan pada senja yang sebentar lagi dihabisi hitam, namun terpana oleh senyum yang lebih nyala dari bintang.

Hinata tersentak lantas menoleh pandang pada Gaara. "Benarkah?" dia masih terperangah tak percaya.

Gaara mengangguk singkat. "Karena itulah saya jadi suka tempat ini." Kemudian menghela napas lelah pada hatinya yang ternyata berdarah-darah. "Kau bahagia?"

Tiada jawaban. Angin sore berhembus sesudahnya menyisakan kebisuan atas pertanyaan Gaara yang jelas Hinata tahu betul mengarah kemana.

"Rasanya seperti kembang api." Tatapan matanya berpindah pada angkasa. "Senyap lalu tiba-tiba duar banyak cahaya hingga aku bingung memilih bahagia atau menderita," gumam Hinata pilu.

Pemuda itu melengkungkan bibirnya. Menarik napas agar rasa yang sebentar lagi dilagukan mampu menyentuh palung hati terdalam Hinata.
"Saya suka kamu."

Theatrical ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang