09. Hinata = empat

2.6K 338 17
                                    

Ku basuh mata dari sinar sang surya. Lenggang terasa, aku terjaga. Sayang, aku ingin bertanya. Lelah tidak berkeliaran tak hanya di kepala tapi juga sukma? Parodi-parodi masa lalu, penaka sinema romantika. Banyak tawa, aku dan kamu saja.
Aku diam.
Kau bungkam.
Sementara kamu mempersembahkan erat tanganmu memasung diriku yang gamang.
"Belum cukup menjajah hati, inginku jadi bayang setiap mimpi yang kau arungi. Iya itu aku, my sleeping beauty."


Cerita ini hanya fiktif
Karakter di dalamnya masih milik Masashi Kishimoto
Selamat membaca
❤❤❤

T

ersentak.
Gadis itu mengerjapkan mata. Netra seiras bulan menyongsong matahari yang masih meringkuk dalam cangkang. Jemarinya menyisih bulir bening yang menyisa di pipi.
Kembali mengenang.
Cerita yang sama dengan ia yang masih menjadi pemuja.

Uzumaki Naruto terus menjelma sebagai lakon dalam kehidupannya. Berperan pahlawan dalam kubangan kedukaan. Mempersembahkan punggung yang kerap ia singgung sebagai perlindungan. Tapi semua salah. Samudra yang berbinar serta lengkungan bibir yang ia tak tahu seberapa lebar terbuka. Lukanya menganga saat dada tegap sang pria ternyata untuk gadis lain di depan sana.

Mengintip dari celah gorden yang sedikit terbuka. Petang masih menguasai semesta. Dibiarkan irisnya menjelajah, titik netranya berpijak pada pigura yang diletakkan di meja. Potret masa lampau kala pria itu resmi menyandang gelar sarjana. Si pemilik senyum mentari, hingga mengundang Hinata untuk merasakan bahagianya.

"Hinata?"

Sebuah panggilan bersamaan dengan derit pintu terbuka membuyarkan khayalan pada keterpakuannya. Sang putri mengangguk lemah, tubuhnya tak bertenaga untuk sekedar bicara walau denyutan di kepalanya tak separah tadi malam.

Keheningan membawa gema dari hentak kaki yang melaju kearahnya. Memamerkan senyum diiringi sayup-sayup desah yang terdengar di telinga. Sosok pria yang ia kenal tak hanya membawa raga namun juga nampan yang Hinata yakini berisi makanan. Aromanya ikut membaur di seluruh ruangan.

"Naruto..." rintihnya serak.

Dan pria itu tetap mempertahankan tarikan bibirnya. Menghampiri Hinata di ranjang lalu meletakkan nampan di atas nakas dan memutuskan untuk duduk di tepinya. "Masih pusing?"

Hinata menggeleng pelan. "Ini apartemenmu?"
Ia mencoba bangkit dan menegakkan punggungnya sedikit, dengan sigap Naruto membantunya untuk duduk.

Hinata mengedarkan pandangannya pada kamar berlatar hitam dan putih. Dihadapannya terdapat televisi besar disanggah rak bertingkat berwarna abu. Lukisan abstrak besar dominan gelap hampir memenuhi dinding, seolah menerangkan bahwa hitam tak selamanya menyeramkan. Ini kamar Naruto-nya, tempat dimana sang adam mengubur penat lantas mengizinkan mimpi ikut bergabung memulai petualangan.

Naruto mengangguk membenarkan, "kamu pingsan." Pendaran sinar terangnya melebur digantikan percik kemarahan. "Kelelahan dan banyak pikiran. Itu yang dokter katakan padaku Hinata," desisnya pelan mencoba menahan amarah.

Detik itu, takut mengundang detak jantung bergemuruh hebat. Memporak-porandakan kalut pada rahasia yang selama ini ia simpan rapat.

---Tuhan tutup semua kebenaran dengan kuasa Mu.

Lagi-lagi kebisuan membayang. Sunyi kerap datang tanpa undangan. Hening adalah jawaban si gadis dengan bibir terkunci rapat.

Dulu ia menyukainya, ada lenggang yang bisa ia gunakan untuk memandang ekspresi yang pria itu sebarkan. Melewati jutaan waktu dengan Naruto berada di sampingnya. Pria itu selalu aktif memulai pembicaraan; tentang mereka, tentang keluarga, dan seputar pertanyaan sepele mengapa takdir mempertemukan keduanya dalam balutan duka.

Theatrical ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang