01. The beginning

6.1K 472 31
                                    

Cerita ini hanya fiktif
Karakter di dalamnya masih milik Masashi Kishimoto
Selamat membaca
❤❤❤

Aroma khas 'petrichor' yang bersatu antara air hujan dan tanah membuat siapapun yang menghirupnya seakan melayang. Aroma hujan ini yang bertanggung jawab atas segala perasaan emosional tiap orang yang menciumnya. Rintik hujan turun, semakin lama semakin deras. Ribuan tetesan air jatuh dari langit memberikan berkah untuk bumi yang mulai menua dan goyah.

Orang-orang sering menyebut hujan sebagai pembawa kenangan.
Kenangan dari sang kekasih.
Kerinduan dari sebuah keluarga.
Dan dekapan hangat dari seorang teman.
Semua manusia menyukai hujan. Tak terkecuali dengan gadis itu.

Masih memakai seragam sekolah dasar, dialah gadis kecil bernama Hinata Hyuga. Sama seperti kebanyakan orang, Hinata menyukai suara riuh gemericik tetesan air. Kedua tangannya menengadah, hujan mengingatkannya pada sosok ibu yang telah tiada. Ibunya selalu berkata, hujan adalah tempat dimana dia bisa bebas menyembunyikan air matanya. Bebas berteriak dan menitipkan rindu kepada air yang mengalir.

Namun kali ini, Hinata terpaksa menghentikan tatapan memujanya pada hujan. Hujan turun deras bertepatan saat ia pulang sekolah. Suara bel sudah berdentang sedari lama namun langkahnya terpaksa berhenti di pelataran toko kecil kala hujan mengguyur tempat kelahirannya. Hinata berteduh berharap sang ayah atau kakaknya lekas menjemputnya. Hinata menyukai hujan tapi benci pada suara petir yang memekik telinga. Baginya suara gemuruh sama persis seperti genderang atau pukulan besar yang menghantam bumi. Menakutkan dan membuatnya bergidik ngeri.

"Ck, hujan menyebalkan!"

Decakan anak lelaki mencuri atensi Hinata untuk berpaling padanya. Surai pirang yang mencolok dan seragam SMP yang sama persis seperti milik kakaknya, lelaki itu menggerutu ketika hujan semakin deras.

Hinata terdiam tak berani berkomentar. Sepasang mata birunya memandang muak guyuran air yang tak kunjung berhenti. Anak lelaki terjebak pada keadaan yang memaksanya berteduh. Kaki kanannya digunakan untuk menyepak kasar genangan air yang mulai mencapai ke arahnya. Menuangkan emosi seberapa kesal dirinya.

Merasa diperhatikan, wajah masamnya menoleh. Tepat di sebelahnya seorang anak perempuan yang berusia tak terpaut jauh darinya mungkin sekitar dua sampai tiga tahun terus memperhatikannya lekat.

"Apa lihat-lihat!"
Bentakan dari bibir lelaki itu membuat Hinata beringsut takut. Mata anak itu melotot menatap tajam dan jelas ketara keberadaan Hinata membuatnya tak nyaman.

"Kakak sedang terburu-buru ya?" Ia memberanikan diri bertanya meski tubuhnya gemetar takut. Kepalanya menunduk tak berani bertatapan pada wajah garang remaja berhelai pirang.

"Kenapa?!" Masih dengan nada yang tak bersahabat si pemilik netra biru balik bertanya.
Kedua alisnya saling bertautan saat Hinata mengobrak-abrik isi tas ranselnya. Payung mungil berwarna ungu diserahkan kepadanya.

"Kau bisa pinjam payungku."
Dengan tangan gemetar gadis itu merelakan payung kesayangannya untuk dipinjam oleh bocah sombong yang baru dikenalnya beberapa menit.

"Kau yakin? Lalu kau bagaimana?" tanya anak itu khawatir sekaligus merasa tak enak hati. Nada yang dikeluarkannya pun sedikit merendah kala berbicara pada Hinata.

"Ayah selalu bilang jika hujan lebat aku disuruh menunggunya. Jadi Kakak boleh membawanya," jelas Hinata tersenyum. Dia meletakkan payungnya berada pada telapak tangan anak itu.

"Hari ini ibuku sedang menjalani operasi jadi aku harus secepatnya ke rumah sakit. Benar tak apa jika aku membawanya?" Kembali anak lelaki itu bertanya.

Theatrical ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang