31. Happy Ending (TAMAT)

2.7K 244 24
                                    

Ini rahasia
Walau tiada yang istimewa jika kuberbincang bersamaNya lewat doa
Ya, semata-mata pinta kita
Aku dalam balutan baju pengantin yang perkasa
Kamu dengan juntai gaun putih di singgasana

Tapi siapa sangka
Tuhan begitu baik mewujudkannya
Dulu yang kukira cuma mimpi belaka sekarang berwujud nyata

Tunggu aku di sana
Aku sedang melangkah menjemputmu dari tangan ayahanda
Bersama cincin perak dan janji suci kan kujadikan dunia milik kita berdua

Kemudian....
Tengoklah tamu-tamu undangan
Senyum dan tepuk tangan mereka hadirkan
Doa-doa kebaikan mari aminkan

Mungkin dulu, asmara kita pernah berbuah dosa
Mungkin dulu, kita pernah terperosok ke lubang neraka
Tapi kali ini beda cerita
Kini, langkah kita ibadah yang sempurna
Mari abadikan kisah dalam mahligai rumahtangga
Hari ini, aku dan kamu resmi menjadi kita

......................................................................

Cerita ini hanya fiktif
Karakter di dalamnya masih milik Masashi Kishimoto
Selamat membaca
❤❤❤


Saat dia dan saudaranya kehilangan sosok yang menjadi sentral bahagia dalam rumah. Kepedihan yang sang anak rasa tak sebanding dengan pria yang telah menjadikan ibunya sebagai bagian separuh jiwanya. Jeritan tangis Hinata meraung ketika raga sang ibu tak lagi menapaki semesta yang sama, tapi hati ayahnya lebih luluh lantak. Tak ingin terlalu mengumbar pedih, kekosongan hati Hiashi selalu berakhir dengan lamunan kesendirian bersama luapan air mata diam-diam.

Hinata terpaku diambang pintu dapur. Menyaksikan pilu yang sepanjang malam menjadi adegan wajib bagi ayahnya. Ketika senyap dan gelap memenuhi rumahnya, pria paruh baya itu akan berakhir di dapur sendirian sembari mengenang. Cintanya yang kandas terpisah benteng kematian.

"Ayah tidak tidur?" sapaan pelan Hinata membuat sang ayah segera menghapus cepat air mata. Bersandiwara dengan tawa saat guratan wajah senja itu beralih memandang putrinya.

Hiashi menggeleng halus, "Ayah tadi haus. Kenapa bangun?" tanyanya tak melunturkan senyuman yang begitu dirindu oleh Hinata.

Jarak yang terpisah beberapa langkah coba Hinata pangkas dengan mendekat di sebelah ayahnya. "Tiba-tiba Hinata ingin makan buah."

Hiashi tersenyum simpul. "Kau mengidam?"

Mahkota berwarna ungu gelap itu mengangguk samar. Ada sesak menggelayuti dada kala mengingat kembali jalan terjal yang ditempuhnya hingga mengecewakan satu-satunya orang tua yang Hinata punya.

"Ayah mau teh? Hinata buatkan ya?" tawarnya berusaha mengusir kecanggungan. Ujung piyama warna biru laut menjadi mainan jarinya. Karena semenjak prahara patah hati akibat kisah lakunya, hubungannya dengan sang ayah terisi sekat tak kasat mata. Hinata telah menggores luka kepada pria yang rela banting tulang demi memenuhi kebutuhannya hingga beranjak dewasa.

Pria dengan iris pucat tua kembali menggeleng. "Setelah mengambil buah pergilah tidur. Angin malam tidak baik untuk kesehatan," papar Hiashi bersama pancaran aura kelembutan. Padahal daripada Hinata justru dirinyalah yang lebih membutuhkan istirahat. Namun ketika kelopak matanya hendak mengarungi lautan mimpi, pikirannya dijajah oleh bayangan Hinata yang sebentar lagi tak setiap hari bisa dia temui.

"Ayah..." bisik Hinata bergetar. Butiran-butiran yang luntur dari mata coba dia tahan tapi ternyata gagal. "Maafkan Hinata." Tak lagi memainkan ujung baju tidurnya, kesepuluh jemari sang anak meremas erat. Untuk mengangkat wajahnya saja, Hinata malu.

Theatrical ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang