07. Central Limit Theorem

2.4K 374 62
                                    

Aku rayu senja
Agar bisa mengambil warnanya
Sebagai bukti cinta
Kutumpuk asa
Semoga engkau bahagia
Sementara kau tertawa dan tak percaya
Karena aku masih abu-abu untuk diterka

Wahai kamu
Mari bertemu dan bertukar rindu

Cerita ini hanya fiktif
Karakter di dalamnya masih milik Masashi Kishimoto
Selamat membaca
❤❤❤

"Aw. Sakit!"

Rintihan suara pria bersimfoni dengan sinar jingga keunguan membanjiri mereka.

Hinata pura-pura mencebik setelahnya sedikit mengurangi tekanan mengoles antibiotik ke luka sang pria.
"Ini luka ringan tidak perlu sampai membuat muka kesakitan."
Tepat setelah ia selesai merekatkan plester, Hinata buru-buru membersihkan plastik-plastik yang bertebaran di bangku.

Di antara denting resah, ia mengistirahatkan penat setelah sempat berdebat, punggung rapuhnya ia letakkan pada sandaran. Lalu lalang pejalan kaki menambah cantik latar kota kelahirannya sore ini.

"Anda benar-benar tak ikhlas ya mengobati saya?" Sang pria memilih membuka percakapan setelah menggeser tas kerjanya, berjarak lebih dekat dengan sang lawan bicara.

"Iya. Dan seandainya kau tak mengancam melaporkan, aku tak sudi melakukannya," sambar Hinata sadis. "Dan hilangkan dialek formalmu karena kita ini seumuran."

Senyum sang pria terpatri lebar. Matanya membalas tatapan sebal Hinata dengan anggukan kepala.
"Saya terbiasa memakai bahasa formal karena tuntutan pekerjaan dan tidak etis rasanya bila kita tidak saling mengenal tapi saya berbicara tidak sopan."

"Mengenal?" Ulang Hinata menahan keterkejutan. "Mungkinkah kau tidak mengenaliku?"

Kepala pria itu mengangguk, "ini pertemuan pertama kita."

Hinata tak menggubrisnya. Ia masih menatap pria itu dengan tatapan tak percaya sekaligus takjub. Nama dan wajahnya malang melintang di logo perusahaan juga jangan lupakan status keluarganya sebagai penggerak ekonomi utama negeri ini.
"Kau benar-benar tak mengenaliku?" sekali lagi Hinata bertanya guna meyakinkan dirinya sendiri, pria di depannya terlalu polos atau mungkin kolot.

"Iya," jawab si pria sekenanya. Lalu mengulurkan tangan kanannya di hadapan Hinata.
"Nama saya Gaara. Sabaku no Gaara."

Alih-alih menerima uluran tangan sebagai tanda perkenalan, gadis itu lebih suka mengerang.
"Kau berasal dari planet Mars ya?"

Satu alis Gaara terangkat naik, "tidak, saya tinggal di bumi. Tepatnya di perumahan Konoha dekat alun-alun kota," pembenaran dari Gaara mendapat tanggapan heboh dari si lawan bicara.

Dan kepercayaan diri yang selalu ia sombongkan lenyap tak bersisa. Dibandingkan harus menambah penjelasan, demi mempersingkat waktu Hinata rela mengalah.
"Aku Hyuga Hinata. Si model dan desainer terkenal."
Hinata menyambut uluran tangan sang pria setelah cukup lama ia abaikan. Menyisipkan sedikit biodata diri sebagai sebuah sindiran.

Yang Gaara tahu, cinta adalah kejadian sempurna yang ditetapkan sang pencipta semesta dalam mempertemukan cerminan diri. Juga bisa dijelaskan sebagai reaksi kimia dopamin dan serotonin yang menciptakan rasa bahagia.

Parasnya yang rupawan tak serta merta seketika membuat Gaara terpesona. Meski cantik adalah kata yang memang seharusnya ia sematkan untuk wanita ini. Tidak ada yang istimewa selain itu, tabiat dan juga tutur katanya tak selemah lembut wanita pada umumnya. Itulah nilai awal yang Gaara berikan pada sosok gadis bernama Hinata.

Ah, benar itu kan namanya?

"Tapi aku sungguh minta maaf."

Celetuk singkat milik Hinata membuyarkan segala lamunan yang ia berikan pada gadis di sebelahnya.

Theatrical ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang