12 : "Pada Hari Itu"

248 30 11
                                    

p.s : Part ini PANJAAANGGG banget. Jadi diharapkan membaca di waktu luang, di tempat yang nyaman dengan cemilan lengkap 😘

Baru pukul 10.00, masih ada waktu 2 jam 30 menit lagi sampai acara utama dimulai. Tapi Jenan sudah berdiri di taman, dengan kaus hitam dan training hitam, juga sepatu kets hitam. Nampaknya Jenan tidak perduli tentang teori kalau kaus berwarna hitam bisa menyerap sinar matahari lebih banyak dan membuat diri lebih cepat gerah. Yang dia lakukan hanya berdiri, mencoba merelaksasi badan dan pikirannya dalam keheningan ini. Matanya terpejam, ritme pernapasannya teratur. Benar - benar mirip seperti orang yang sedang bertapa di gua gunung ajaib untuk mendapat keberkahan dari Sang Semesta.

Tapi keheningan paginya terganggu, karena sebuah jaket denim ala - ala Dilan 1990 menyelimuti punggungnya. Mata kirinya terbuka, mencooba melihat siapa yang berani mengganggu paginya dan tanpa izin berdiri di sampingnya.

"Selama pagi bapak wakil presiden."

Oh. Sheila.

Tunggu.

"Jaket siapa ini?"

Jenan tidak kepo. Tapi aneh saja, karena setau Jenan, Sheila hanya membawa cardingan ungu yang kini sedang ia pakai. Ia tidak ingat- atau mungkin tidak tahu, kalau Sheila juga membawa jaket denim biru tua ini. Jadi Jenan mengharapkan jawaban yang dikeluarkan adalah ini jaket milik-

"Jaketnya Jaka."

Sheila yang disimpan di dalam tas.

Sial.

"Kenapa bisa ada di lu?"

"Semalem gue gak bawa jaket, terus dipinjemin sama dia. Pas tadi gue mau balikin ke kamar dia, Jaka masih tidur and tempat tidur lu kosong. Dan ketika gue lihat jaket kulit lu ada di kursi, gue bawa jaket denim punya Jaka ini buat dipakein ke lu yang gila karena cuma pake kaus tipis di saat suhu Bandung mencapai 21 derajat. Sekian terima gaji."

Hm. Aneh.

"Kenapa gak masuk ke kamar gue, terus taro jaket Jaka dan ambil jaket kulit gue?"

"Lu gila? Nyuruh gue masuk ke kamar lu yang berantakan? Gak khawatir apa kalo gue sengaja atau tidak sengaja ngeliat barang privasi lu berdua?"

"Terus tau darimana Jaka masih tidur? Tau darimana kamar gue berantakan? Tau darimana jaket kulit gue ada di kursi? Sedangkan pintu kamar gue gak punya lubang pengintip biar bisa lihat ke dalam. Kalau ngintip dari celah pintu, lu cuma liat lorong kamar gue. Jadi, opsi lain kenapa lu bisa tau kondisi kamar gue selain lu masuk kamar gue apa?"

Sheila terdiam. Mukanya menunjukkan dengan jelas kalau ia terkejut dan tidak menyangka Jenan bisa memberinya pertanyaan secara bertubi - tubi. Jenan menghela nafasnya, heran dengan kelakuan Sheila yang aneh itu.

"Ngapain masuk ke kamar gue?"

"B-buat liat ada lu atau nggak."

"Kartu kamar gue kan ada di gue ama Jaka. Karena kartu kamar yang satu ada di saku training gue, atas alasan apa Jaka ngasih kartu kamar ke lu?"

Lagi dan lagi. Sheila terdiam. Jenan hanya menyunggingkan ujung bibir kanannya. "Tenang. Gue gak berpikir lu habis bergoyang seru di kasur Jaka di saat gue ketiduran di meja. Atau pikiran tentang lu ama Jaka yang hangout ke gunung di dini hari. Cuman Shei." Jenan memutar kepalanya, menatap Sheila yang sudah pucat walau masih pagi. "Jatuh cinta dalam 1 hari, ternyata segampang itu ya? Sampe bisa mengalahkan rasa suka lu selama 2 tahun kepada seseorang yang juga menanti kehadiran lu di hatinya?"

Tangan Jenan terulur, menepuk pundak Sheila berkali - kali. "Semangat dapetin yang baru. Berhenti suka sama sobat gue, oke? Lebih baik dia tau kalau dari awal cinta dia bertepuk sebelah tangan dibanding ia tau kalau perempuan yang pernah membalas perasaannya, ternyata pindah hati dengan gampang."

Shakuntala ; 00 LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang