1 : "Brosur Merah Hitam"

1.1K 67 2
                                    

Biasanya, pukul 12 siang hingga 5 sore itu waktunya hujan turun membasahi bumi, membuat seluruh orang malas melakukan kegiatan dan lebih memilih untuk rebahan sambil selimutan, atau menonton dengan minuman hangat dan indomie pedas yang panas.

Namun sepertinya langit sedang ceria hari ini. Sejak pagi, matahari sudah memancarkan cahayanya cukup terik, membuat awan putih memberi ruang untuknya menyinari langit biru yang bersih. Cahaya itu cukup membuat mata setiap orang terbuka setengah untuk mencegah cahaya terik itu menusuk retina mereka. Lapangan kosong, tidak diisi oleh murid - murid yang sedang melalui pelajaran jurusan. Mereka lebih memilih duduk di bawah atap, mengacuhkan panggilan Pak Loki yang sudah menyuruh mereka untuk berkumpul.

"Heh kalian. Briefing dulu. Enak aja langsung duduk di sana."

"Kan tadi di kelas udah briefing Pak."

"Udah berapa kali Bapak bilang kalau briefing itu harus dua kali. Di kelas sama di lapangan. Udah sini dulu."

Dipenuhi langkah gontai dan lemas, para mahasiswa itu berjalan mendekati Pak Loki dan duduk di pinggiran taman. Lelaki dengan kaus putih dan celana jeans hitam itu mengusak rambut hitamnya, seraya menggunakan kacamata yang sempat mengembun karena keringatnya menguap. Lelaki di sampingnya mengipas – ngipas menggunakan tangan, memberi lelaki itu sedikit angin dan semakin mendekatkan dirinya.

"Njir ngapain lu?"

"Enak anginnya. Kipas – kipas lagi."

Lelaki itu mendorong dahi pria tadi sambil meringis geli, sedangkan si korban hanya tertawa menerima perlakuan tersebut. Walau telinganya fokus mendengarkan dosennya dan mulutnya masih fokus mengeluarkan tawa, matanya tidak lepas menatap lelaki berbadan tegak yang sedang memegang brosur merah hitam di tangan kirinya.

📜

"Mas Dika!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mas Dika!"

Lelaki dengan jaket hitam itu membalikan badannya saat seseorang memanggilnya. "Eh Rendi. Bukannya tadi lagi praktek ya?"

Rendi menggeleng. Nafasnya masih susah ia atur, namun perlahan ritme pernafasannya sudah kembali normal. "Udah beres mas. Btw aku minta brosurnya boleh?"

Dika mengangguk, lalu menyerahkan 1 brosur berwarna merah dengan garis hitam di sisi kanannya. "Minat jadi presiden BEM?"

"Dikit sih mas. Minta dulu aja, siapa tau minatnya bertambah."

"Gapapa, kembangin dulu niatnya. Kamu cocok kalo jadi presiden, kerja kamu jadi wakil menteri Public Relations udah bagus. Kesempatan besar, saya yakin banyak yang mau kamu jadi presiden selanjutnya."

Rendi terkekeh. "Gak juga sih mas. Masih ada yang lain. Jovin tu, udah diincer sama Mas Farid. Kemarin aja udah 8 kali ditelepon, digoda – goda biar Jovin daftar jadi presiden juga."

"Ambil perhatian Farid kalo gitu."

Tawa mereka menghiasi siang terik itu. Setelah Rendi membungkuk pamit, ia berjalan menaiki tangga menuju lantai 3. Ia menatap brosur yang ia pegang di tangan kanan, diletakan di atas buku gambarnya. Helaan nafas sempat melaju keluar dari mulutnya, sembari tangannya memukul – mukul pelan kepalanya. "Bego banget lu."

Shakuntala ; 00 LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang