Dua

495 86 235
                                        

Sally melempar tubuhnya ke tempat tidur besar sambil merentangkan kedua tangan. Matanya menatap langit-langit lalu menghela napas dengan kasar. Otaknya memutar lagi bayangan soal si senior tampan yang tadi ditemuinya di belakang aula.

Lagi-lagi ia menghela napas. “Ko bisa ya orang lagi diem aja cakep banget!” pikirnya.

Sally memang tak pernah sekalipun dalam hidupnya melihat orang yang sedang melamun bisa memancarkan aura seperti seniornya barusan. Ia memanglah tipe orang yang suka memperhatikan gerak-gerik orang lain meskipun tidak berlebihan. Dan menurut Sally, seniornya itu memiliki aura di atas rata-rata. Wajahnya layak masuk kategori pria tertampan di dunia.

Sebuah ide cemerlang muncul di kepalanya. Tanpa aba-aba, ia bangkit dan berjalan menuju cermin. Sambil mematut diri, Sally perlahan melamun dan berusaha untuk tidak memikirkan apapun.

Satu detik...

Tiga detik...

Sepuluh detik...

Anjir, lah! Enek banget ternyata liat muka sendiri kek orang bego!” Sally menggelengkan kepala dan menyesali kegiatan absurdnya barusan. “Perasaan orang lain bilang gue cantik, deh! Kok biasa aja, sih?”

Setelah sadar, ia pun akhirnya bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari debu-debu kurang ajar yang menempel di tubuhnya, yang juga padahal baru saja ia lulur semalaman. “Kalau tahu bakal kotor-kotoran gini, mah, gak akan luluran gue!” gerutunya sambil menyentakkan kakinya ke kamar mandi.

Lima puluh tiga menit kemudian, Sally sudah keluar dengan keadaan wangi bak bunga mawar yang baru saja dipetik dari kebun lalu di rawat dengan sepenuh hati. Ia melihat kakaknya, Irena, sedang duduk bersandar pada sofa sambil menonton acara televisi dan makan mie instan. Sally lalu berjalan mengitari kakaknya sambil tersenyum lebar.

Irena menatapnya bingung. Sebuah kerutan nampak jelas di kening Irena. “Ngapain sih kamu? Mau kakak iket? Ganggu kakak lagi nonton tau gak?”

Tanpa diperintah, Sally duduk di samping kakaknya dan melirik jam dinding. “Kak Irena kok udah pulang jam segini?” tanya Sally. “Biasanya suka sampai malam?”

Irena menganggukkan kepala dengan mata yang tetap fokus pada televisi. “Tadi cuma foto sebentar buat majalah bulanan.” jawabnya ringan. “Gimana kuliah hari pertama?”

“Biasa aja.” ucap Sally sambil membenarkan posisi handuknya yang menempel sempurna di kepala. “Besok kayaknya udah mulai ngampus.”

Senyum Irena melebar, lalu ia menyipitkan mata. “Cie, jadi anak kuliahan, dong!”

Wajah sombong Sally tiba-tiba saja muncul. Jika disampingnya ada kacamata besar, mungkin ia akan memakainya saat itu juga. “Iya, nih! Ga sabar banget buat belajar!”

Tiba-tiba saja Irena mengetuk kening Sally dengan sendok yang sedang dipegangnya. “Halah! Dari awal masuk SD juga gitu bilangnya! Mau belajar lah, mau jadi anak pinter lah,” Irena mengikuti gaya bicara Sally sambil mempraktikkan gerakannya. “Mana? Kamu masuk dua puluh besar aja enggak.”

Sally tersenyum lebar, selebar mungkin yang mulutnya bisa lakukan. “Kak Irena gak tau, sih! Anak-anak sekelas tuh ikut les semua, wajar aja mereka pinter.”

“Kamu, kan, juga ikut les?”

Mata Sally berputar mencari alasan. Seingatnya, saat SMA ia memang ikut les bersama dengan Sunny, namun mereka berdua tak pernah masuk dan ikut belajar, melainkan pergi ke konser musik juga membeli beberapa produk make up di mall.

“Iya, sih.” jawab Sally sambil mengangkat bahu. “Mungkin anak-anak lain pakai dukun.”

Hampir saja sebuah ketukan kembali mendarat di keningnya jika saja Sally tak menghindar. “Pokoknya sekarang, jangan banyak main. Belajar yang bener, kakak gak mau ya sampai dimarahin mama dan papa cuma gara-gara gak bener jagain kamu!”

Be Better (With You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang