"Kenapa lo kaget?" tanya Rian heran.
"Nggak, kok. Tapi, ah sudahlah." Ara tidak mungkin protes dan mengomel pada Rian, sementara Alwin ada di kelas itu juga.
Alwin melihat ke arah Ara yang sebenarnya ingin protes. Cowok itu seperti ingin minta penjelasan kenapa reaksi Ara sangat berlebihan seperti tadi.
"Lo mau, 'kan?" tanya Rian memastikan karena melihat ekspresi tidak ikhlas gadis itu. Ara mengangguk sebagai jawaban. Mau tidak mau, Ara harus mau.
"Wah, selesai!" seru Jay. "Jangan ada yang melewatinya memakai sepatu!Copot sepatu kalian kalau mau lewat!" ucap Jay memberi peringatan.
Jay menawarkan diri membelikan minuman untuk mereka semua, tetapi Alwin menyahut, ia akan membelikan untuk mereka semua.
Terlihat Ara juga selesai, lalu turun dari kursi yang sedari tadi ia pakai, mencopot sepatunya dan menentengnya membawa ke tempat duduknya.
"Yan, lo sengaja, 'kan?" tembak Ara setelah Alwin keluar. Rian langsung menyengir lebar. "Huh, kalian semua benar-benar, sama saja!" kesal Ara.
"Maaf deh, bukannya lo seneng? Ngaku aja deh!" sahut Rian setengah mengejek.
"Seneng apanya?!"
"Biar lo cepet move on!"
"Gue udah move on ... sudahlah, dasar nyebelin!"
Rian terkikik geli melihat ekspresi Ara. Mereka semua, entah Jay, Tio, Rian ataupun Hamiz selalu menyerang gadis itu dengan kata 'move on'. Oh, belum lagi Jihan yang belum menampakkan batang hidungnya.
Tidak lama kemudian, Alwin datang dari membeli minuman. Ara langsung terdiam di tempatnya.
"Makasih, Bang Alwin!" seru Jay mengambil bagiannya.
"Aku nggak tau minuman kesukaan kalian, jadi cuma air mineral biasa."
"Nggak papa, kok. Makasih, Bang. Oh, ya, karena ini pertama kalinya sekelas dengan kami, biasain keributan ini, ya," ucap Jay sedikit memperingatkan Alwin.
Tanpa pikir panjang, Alwin tersenyum mendengar ucapan Jay. Alwin benar-benar bersyukur sekelas dengan mereka, hidupnya tidak akan sepi seperti tahun-tahun sebelumnya.
"Oh, ya, Tio! Lo masih ikutan klub melukis?" tanya Ara, Tio mengangguk karena ia sedang menenggak minumannya. "Gue denger bakal ada pengajar baru, ya?"
"Benar! Gue juga bakal masuk klub melukis!" sahut Jay menghampiri.
Tio dan Ara saling memandang terkejut. "Apa?!" teriak mereka bersamaan, bahkan Hamiz hampir tersedak. Menatap Jay menuntut penjelasan, bukan tanpa alasan reaksi mereka berlebihan seperti itu.
"Jay, lo nggak lagi sakit, 'kan?" Tio menyentuh kening Jay. Sang objek hanya tersenyum sambil menggeleng.
"Meninggalkan klub basket dan masuk klub melukis? Lo nggak ngigo, 'kan? Oke, mungkin lo lupa, gue, lo, dan semua murid kelas ini kecuali Tio nggak bisa menggambar, Jeff. Dan sekarang lo mau masuk klub melukis? Melukis lebih susah! Aw!" Jay menyentil dahi Ara.
"Udah selesai ngomongnya, Princess? Gue tetap mau ikut, trus gue bakal belajar dengan giat." Jay tetap bersikukuh pada keputusannya.
Ara memandang tak percaya sahabatnya ini. "Terserahlah." Ara menyerah. "Tapi, jangan tinggalkan klub basket bisa, 'kan?"
"Gue pikir-pikir dulu, deh."
"Nggak bisa! Lo nggak boleh keluar dari klub basket, paham?"
"Ya, ya, ya," sahut Jay tidak ingin berdebat dengan gadis itu.
"Jay ada-ada aja, ngegambar garis pakai penggaris aja miring, ini lagi mau melukis," gumam Hamiz masih tak habis pikir.
"Perhatian! Murid kelas 3-2 yang bernama Araninda, Arya Pradifta, Yuna Putri dan Hamiz Ikram diharapkam datang ke ruang kepala sekolah sekarang juga!" ujar sebuah suara di speaker.
Arya dan Yuna yang baru masuk ke kelas terdiam di tempat sambil membelalak terkejut.
Sementara Ara dan Hamiz kompak menghela napas panjang, mereka sudah tahu penyebab mereka dipanggil. Ara adalah peran utama peristiwa pagi tadi, sementara Hamiz adalah ketua klub jurnalistik.
"Ah, benar-benar!" Ara menggebrak meja membuat Alwin berjengit kaget.
"Ini gara-gara lo, Arya!" ucap gadis itu melotot ke arah Arya.
"Apa?! Lo nggak sadar kalau ini semua gara-gara lo juga?" sahut Arya tak mau disalahkan.
"Sudahlah! Kita dipanggil menghadap kepsek loh ini, bukan hanya ke ruang BK!" Hamiz mencoba menyudahi perdebatan kedua temannya itu, ia pun beranjak dari kursinya.
Ara berjalan dengan gontai, lalu Alwin mengekor di belakang gadis itu. Begitu pun, nama-nama lain yang dipanggil.
***
Mereka yang namanya dipanggil itu tengah berdiri berbaris di hadapan Pak Bono—Kepala Sekolah—sembari menunduk takut.
"Silakan duduk dulu!"
Mereka berlima duduk dengan ragu seolah ada duri di sofa tersebut. Tidak ada satu pun yang berani bersuara.
"Coba jelaskan tentang artikel dan foto ini!" Pak Bono mengarahkan laptopnya ke arah mereka semua.
"Ini semua salah Ara, Pak." Arya berucap tanpa basa-basi. Ara langsung menatap terkejut, jika saja tidak ada kepala sekolah pasti ia akan berteriak di depan wajah Arya langsung.
"Tidak benar, Pak. Bukan saya, tapi dia," ucap Ara mencoba membela diri.
"Cukup! Jangan saling menyalahkan! Ceritakan padaku kejadian sebenarnya!"
Arya menarik napas sebelum menyahut ucapan Pak Bono. "Jadi, begini, Pak. Tadi pagi, saya menaiki skateboard di halaman sekolah, tapi tepat di depan saya ada Ara yang lagi berdiri, saya sudah memperingatkan semua orang untuk minggir, tapi hanya dia yang nggak mau minggir," jelas Arya. Ara terlihat sekuat tenaga menahan emosinya.
"Baiklah. Bagaimana dengan cerita versimu, Araninda?" tanya Pak Bono mencoba mendengar cerita tidak hanya dari salah satu pihak.
"Arya itu tidak bisa menaiki skateboard, Pak, karena itu dia tidak bisa mengendalikan benda itu, karena itulah dia hampir menabrak orang. Kenapa saya tidak minggir saat dia berteriak, itu karena dia meluncur sangat cepat dan saya terkejut tidak sempat minggir," ucap Ara dengan satu napas, mengakhiri penjelasannya.
Pak Bono mengangguk paham, ia kemudian berkata,"Sekarang Bapak mau dengar penjelasan Yuna, apa alasanmu memposting artikel seperti ini?" tanya kepala sekolah masih dengan nada bicara yang tenang.
Sementara itu, Ara dan Arya saling menatap tajam. Keduanya 'bertengkar' tanpa suara.
"Maafin saya, Pak. Saya tidak bermaksud apa-apa, bisa dibilang hanya bercanda. Saya berani memposting hal itu karena mereka berdua teman saya."
"Dan terakhir, Hamiz. Kamu adalah ketua klub jurnaslistik, kenapa kamu setuju Yuna memposting hal seperti itu?"
"Sebelumnya saya minta maaf, saya nggak tau Yuna memposting itu. Sekali lagi saya minta maaf." Hamiz mencoba memberi penjelasan apa adanya, tanpa mencari alasan untuk membela diri.
"Karena ini pertama kali terjadi, Bapak bakal memaklumi dan memaafkan kalian, tapi jangan sampai kalian ulangi lagi. Jika itu terjadi, akan ada hukuman yang lebih berat. Setelah ini datanglah ke ruang BK, tulis permintaan maaf sebanyak sepuluh lembar!"
To be continued.
Author's Note:
Belum ada konflik berarti, ya? Sabar, hehe~
Oh, ya, kenapa Jay manggil 'Bang' ke Alwin? Aku jelasin di sini aja deh, ya. Itu karena dia murid akselerasi, umurnya lebih muda dibanding yang lain. Nggak hanya ke Alwin, tapi murid cowok lain juga.
Kritik dan saran selalu ditunggu~
KAMU SEDANG MEMBACA
A to A Series: Aral
Teen FictionAraninda, seorang gadis 17 tahun yang begitu mengagumi Alwin Prasetya. Sudah setahun lebih Ara nge-bucin Alwin, sejak punya pacar sampai putus dengan pacarnya. Seiring berjalannya waktu, Ara mulai bingung, apakah perasaannya hanya rasa kagum atau le...