Part 8 (Sekedar Rasa Kagum)

1 0 0
                                    

Rupanya Ara menyetujui permintaan Arya kemarin untuk bertemu di kafe seberang sekolah.

Kini ia tengah berada di mobil Jay. Ibu Ara memang tidak pernah mengizinkan anaknya itu pergi sendirian kalau tidak ada seseorang menemaninya. Orang tersebut juga harus dipercaya oleh ibu Ara, Jay contohnya.

Ara tidak masalah mengenai hal itu, ia merasa terjaga dengan larangan ibunya tersebut.

"Jeff, gimana menurut lo? Apa yang harus gue lakuin?" ucap Ara, ia menghela napas panjang.

Jay menatap sahabatnya itu, lalu berkata, "Lakukan apapun yang terbaik, gue bakal dukung, kok."

Ara mengangguk paham, di dalam hatinya gadis itu berterima kasih karena Jay selalu ada untuknya.

"Ra, gue tanya untuk terakhir kali, jawab dengan jujur, apa lo masih punya perasaan sama Bang Arya?" tanya Jay, setelah beberapa saat keduanya diam.

Ara menunduk, merasakan kedua matanya memanas. Melupakan Arya sebenarnya tidak semudah itu untuk Ara.

"Gue selalu khawatir karena traumanya belum sembuh dan gue nggak suka saat dia sama cewek itu," lirih Ara.

Jawaban Ara sama sekali tidak membuat Jay terkejut, ia sudah menduganya.

"Itu artinya lo masih punya perasaan sama Bang Arya, Ra. Lo yakin nggak mau balikan?"

Ara menghela napas berat. "Lo tau dia udah tunangan sama temen masa kecilnya, 'kan?" tanya gadis itu. Jay mengangguk. Ara kemudian melanjutkan ucapannya, "Kalau kami balikan, itu artinya Arya harus menentang keputusan mamanya. Lo tau sendiri mamanya single parent dan bekerja keras untuk Arya. Gue nggak mau Arya malah nyusahin mamanya dan hubungan mereka memburuk lagi kayak dulu."

Setelah mengungkapkan semuanya, Ara menunduk sedih. Tangan Jay terulur menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu.

"Gue nggak bakal balikan sama Arya. Cewek itu ... cewek baik-baik, kok, gue bisa relain dia sama Arya," putus Ara.

Jay mengangguk paham, ia mengerti sahabatnya itu tengah dilemma. Semua terasa sulit untuk Ara.

"Jeff, jangan biarin gue nangis lagi karena hal ini, oke?" pinta Ara.

Jay tersenyum dan mengangguk.

"Gue tau."

***

Rian baru saja keluar dari supermarket, ia tengah kesulitan membawa kantong belanja yang sangat banyak, apalagi cedera kakinya belum sembuh total. Entah apa yang ia beli, tetapi terlihat ada warna hijau seperti sayuran.

"Huh, ayah sama ibu bener-bener tega biarin gue sendirian," gerutunya pelan.

Tiba-tiba langkahnya terhenti, saat melihat seseorang yang ia kenali tengah membagikan selebaran pada setiap orang yang lewat. Gadis yang tengah memakai topi hingga membuat wajahnya setengah tertutup itu sesekali menyeka keringat dengan lengan bajunya.

Rian memandang prihatin ke arah gadis itu dan menatap sebal pada orang-orang yang sama sekali tidak menghargai usaha gadis itu, mereka membuang selebaran tersebut begitu saja. Akhirnya, ia memutuskan melangkah menghampiri sang objek yang sedari tadi ia perhatikan.

"Nana!" panggil Rian. Nana langsung menatap terkejut, tetapi sedetik kemudian dia menunduk.

Rian menghela napas, lalu berucap, "Kenapa, sih, lo nggak pernah natap gue?"

"Maaf," ucap gadis itu pelan.

"Hei, lo nggak perlu minta maaf. Oh, ya, itu selebaran apa?"

Nana menjelaskan tentang isi selebaran tersebut pada Rian dengan semangat dan matanya berbinar, membuat Rian tersenyum melihat ekspresi baru dari gadis itu yang baru sekarang ia lihat.

A to A Series: AralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang