3

159 49 54
                                    

Pada ujung gang dengan semarak bulan purnama kamariah, saya jelas menyaksikan adu urat yang tak seimbang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada ujung gang dengan semarak bulan purnama kamariah, saya jelas menyaksikan adu urat yang tak seimbang. Mungkin empat sampai lima potret pemuda gadungan yang melancarkan aksi sok superhero dengan kemeja kusut, tak lupa cap almamater sekolah di dada.

"Mereka tidak pernah jera."

Saya memesongkan perhatian pada kamu yang petang ini membungkus diri dengan rajutan wol putih gading. Pucuk hidungmu naik turun dengan merah jambu mendominasi. Memang si bayu kalau malam tidak main-main bekunya.

"Kamu tunggu di sini dan tolong jaga nasi goreng ibu."

"Oh, ho! Apa kamu ingin menengahi mereka?"

Langkah ketiga saya terpeleset hingga kembali menghadap kamu. "Saya akan menolong setiap dari mereka."

Kamu mencondongkan ubun-ubun ke kanan sebagai etika memahami pernyataan saya. "Mulia sekali. Aku ikut dan nasi goreng bibi tetap aman."

Belum sempat kerutan pada dahi saya terlipat paripurna, kamu lebih dahulu melancong pada ujung gang. Mengimami langkah saya menghadang para antek yang sudah menanti singgahnya kita dengan paras songong.

"Lihatlah perempuan ini. Kau selalu campur tangan masalah orang."

"Ya, si ikut campur masih aku, dan yang kamu gasak tetap dia. Aneh."

Sekilas, kelopak mata kirimu tertutup. Itu ganjil. Detik berganti menit saya berupaya menyibak tirai yang menyembunyikan corakmu, tidak pernah segores pun saya menjumpai sisi anehmu itu. Mengedipkan mata seajaib itu pada laki-laki?

"Seharusnya," kata penitikberatan saya merenggut atensi mereka, terutama kamu yang berasak, dan mendongak. Jujur, saya terkesima oleh paras sayumu teraduk dengan pendar badar. "Seharusnya, kalian tidak mencoreng gang sempit ini dengan tindak busuk. Bukankah, lebih terpuji jika setiap dari kalian pulang ke rumah dan membasuh dosa-dosa di kaki ibu?"

"Lihatlah si saleh ini. Kemas khotbahmu untuk hati manusia yang beriman, jangan menasihati kami. Seperti katamu, kami adalah busuk."

"Saya tidak sepercik pun berkata kalian busuk," celoteh saya mengalun sumbang lagi untuk sekadar menengok kamu yang bungkam. "Ah, bukan kalian yang busuk, tetapi ifrit dan setan di hatimu."

"Kau sudah dua kali menghina kami. Di awal busuk dan yang baru saja adalah setan. Kau ingin apa sebetulnya?"

"Ingin kamu insaf."

"Si gila ini."

Selayang pandang seperti filantropi kamu pada si putih berbulu, saya kepada ibu, dan mungkin setan-setan pada kebiadaban manusia—satu bogem melayang menuju rahang atas saya.

"Banyak berkhotbah tetapi tak belajar menonjok?"

Punggung saya mencumbu tembok yang sudah berlumut, yang lalu saya melihat kamu menerbangkan kaki menuju perut mereka.

"Perempuan sinting."

Sebelum sirkuit pada gang sempit dengan iluminasi cekak ini semakin suram. Saya menyentak tubuh dan menarik tangan mereka yang akan menggampar kamu.

"Menyakiti sesama disebut tercela dan berdosa. Tapi, untuk ini disebut membentengi diri."

Laki-laki yang tangannya tidak sadar saya cengkeram itu meringis. Tulang kering yang menganggur menjadi destinasi kaki saya menendang. Laki-laki berikutnya nyaris menyikut tulang hidung saya, namun lebih dahulu mundur sebab perut kanannya kamu sepak.

"Aku tidak melakukan dosa jika denganmu."

Saya hanya merenung setelah mengenali jika kamu setangguh ini. Vin, apa benar lukamu yang bersembunyi di balik plester kemarin, karena si putih berbulu seperti yang kamu dalihkan?

Februari 3, 2021
Pohon mangga rumahmu
masih sayu, Vin.

dasawarsa winduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang