"Ibu, apa benar Vin tidak menangis saat mengisahkan hidupnya padamu?"
Saya dalam balutan kemeja hitam dan kardigan cokelat sebagai penghangat, menoleh pada surih cantik milik ibu. Relief kami tampak pada ubin pusara dan ibu terpandang sedang menganggut-anggut.
"Hm, iya. Ain hijau lumutnya tidak pernah berembun."
"Bukankah, dia sangat kuat, bu?"
"Sudah sangat gamblang." Ibu memangkalkan konstelasi bakung putih, teluki, dan krisantemum pada nisan. "Apa yang ingin kamu katakan?"
Tanah subur kuburan ceruk kota tetiba berprofesi menjadi kiblat saya. "Vin adalah manifestasi dari pohon jati. Kuat berdiri sendiri dan rontok daunnya tak membuat dia tumbang," Pita suara saya tiba-tiba bersekutu dengan tim minor. Ain kakao milik saya melebur, memerah, dan tepuk halus jantung tak senapas. "Dia bisa sendiri, lalu apa saya kuasa mendampinginya, bu?"
"Ibu tak kepingin menyumbang jawaban, karena itu enigma milikmu sendiri, Kim. Sendiri."
Bangku sanding pemakaman selaku destinasi kami bersandar, tersapu gurat halus si bayu. Dan, pada sapuan kedua, kamu menyamperi kami. Tiga mug yang menampung teh jahe merah nangkring pada nampan dalam genggamanmu.
"Terima kasih bibi mau menziarahi ayah, dan untukmu juga, Kim." Mug satu dan dua kamu beri pada kami, lalu seliramu merosot di sanding ibu. "Ayah berkalang tanah di penjara sepekan sebelum kalian pindah. Bibi ingat aku pernah memburas ini, bukan?"
Suara saya nyaris berkomplot dalam pasukan irama mayor untuk menyoal, lamun rangkap labium polesan jahe merahmu beraksi.
"Mengapa dia menakdirkan diri untuk pergi?"
"Seberat itukah rasa berdosanya, hingga tega melengahkan aku?"
"Aku juga ingin bertanya itu, Kim. Anak perempuan bangor ini pun juga mau dihinggapi mimpi dengan ayahnya yang menyinggung sebuah alasan."
Sangkala itu pukul empat sore, saya ingat gemawan sedang bungahnya jaipongan dengan si camar berpatungan ibu yang hendak berpamitan. "Vin, bibi beri satu wejangan. Dongengkan semua cerita hidupmu pada Kim juga, ya." Ibu pergi bergandengan awan berarak.
"Vindth Soyala. Bila saya menanya berkenaan ibumu sendiri, kamu sudi mengasih jawab?
"Apa aku merindukan ibu? Bahkan, seutas rambutku tak mau mengemas nostalgia tentangnya."
"Karena dia menzalimimu."
"Sah. Dia meromusakan putrinya sendiri, sampai-sampai aku kering kerontang akan gumpalan patos dari potret ibu."
Sepuluh jari jemari saya menggepit dua keping pipi buntalmu. Berupaya menumpahkan polaris si bintang terang rangking empat delapan secara berangsur-angsur, agar kamu kembali menjelma sirius. Tetapi, Vin. Saya ini sekadar anak ibu yang sesekali gelagapan bagaimana taktik untuk balas jasa. Jangankan memasok polaris seperti pada haluan, saya cuma mengasih ain hijau lumutmu sepasang kecup. Saya tengok kamu ternganga. Seperti, kekeringan sabda padahal lazimnya kamu ceriwis.
"Maaf, saya kebablasan."
"Kim," katamu mogok. Untaian suraimu beraduk pendar si syamsu yang tengah menari dengan bayu. "Kamu mengesun anak yatim di samping kuburan?"
"Oh? Lantas, apa kamu bersedia saya mengijabkannya di Kutub Utara sambil melongok bintang polaris? Barangkali dengan segenggam jahe merah untuk penghangat?"
Pipi kamu berona sebelum menyahut. Ada putih bancuh kuning langsat dan merah jambu. "Bagaimana dengan memotret diri bersama, sembari pamer gigi susu?"
"Mau saya genggam sampai ayahmu tersenyum dan ibumu meratap?"
Lamun, semuanya hirap.
Saya linglung dahulu kamu menyerap rayuan itu atau tidak. Vin, ini hendak jadi carik ragil saya memburaskanmu, setelah maheratnya kamu dengan si putih berbulu.
✩
Februari 21, 2021
Saya sungguhan ingin memotret
dirimu saat menjadi alumnus, Vin.
KAMU SEDANG MEMBACA
dasawarsa windu
Fanfictionapa kekasih penulis membaca tulisan kekasihnya? ✩ with midnight rain guy, 𝐤𝐢𝐦 𝐭𝐚𝐞𝐡𝐲𝐮𝐧𝐠 (10/10)