6

100 38 75
                                    

Saya percaya akan tutur lidah ibu tempo tahun dahulu mengenai dunia yang penuh semak belukar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saya percaya akan tutur lidah ibu tempo tahun dahulu mengenai dunia yang penuh semak belukar. Penghuni yang bernapas punya sisi kotor lebih mengungguli dari sucinya. Saya percaya, tetapi saya menolak untuk mengangguk, Vin. Pertanyaan mengapanya kamu telan saja, karena saya akan melukiskan sejelah mungkin agar tidak ada mengapa-mengapa yang lain.

Yang Arif menciptakan setiap saya dan setiap kamu melalui sel ibu dan bapak, saya percaya. Yang Arif melahirkan kotor dan suci bukankah agar manusianya memilih dan lazimnya mereka menunjuk kotor, saya tidak mengangguk.

Manusia sudah beruntung diperlihatkan manis dan bengisnya dunia, sewajarnya menerima bukan memilih. Bilamana dari awal tidak menggantungkan memilih, saya sungguh yakin dunia ini mirip roti tawar yang sering ibu pajang di meja makan. Bagian putih yang halus dibentengi si cokelat yang kasar, suci dan kotor saling bergandengan.

Setelah kalimat panjang akal saya, ibu malah tertawa sampai durja manisnya mirip selai stroberi. Saya hanya melipat kulit dahi kala itu, karena memang tidak paham. Akan tetapi, tempo kali ini. Tatkala kamu menjadi objek perundungan, saya paham mengapa ibu tergelak. Benar roti tawar itu bergandengan, namun manusianya harus menelan si cokelat dahulu sebelum menjamah si putih, harus meneguk kotor dahulu. Bila si manusia tersedak, si cokelat akan hinggap dalam relungnya sepanjang nadi.

"Vin, kau anak seorang pencoleng rupanya. Pantas saja, tidak punya adab dan suka bergaduh."

Sungguh saya melihat super jelas, jika sudut bibir pucatmu memerah dengan darah hidup berlinang di ujung.

"Kau sudah menipu teman-teman lugumu dengan sok suci tanpa dosa."

Kerah bajumu terangkat oleh jemari cegak pemuda tempo lalu di ujung gang. Mereka buta tidak melihat kamu seorang perempuan atau benar sedang dikuasai ifrit, Vin? Saya sudah melewati para manusia yang hanya melihat ini untuk, sedikit saja, mendindingi kamu.

Belum bulat satu langkah, kamu sudah melirik kemudian menggeleng. Saya berhenti. Wajahmu seperti berandalan yang menampik takut bersama rona biru kehitam-hitaman pada deret hidung dan pipi.

"Aku tidak menipu temanku. Mereka adalah orang yang menaruh percaya padaku. Bila mereka merasa aku tipu, bukankah sudah jelas mereka bukan temanku?"

"Kau masih bisa berdalih?"

Vin mencabut diri dari cengkeraman pemuda anak ifrit. "Aku tidak menolak jika ayahku adalah seorang yang terhukum. Tetapi, aku tetap anaknya. Aku tahu baik buruknya tanpa kamu hakimi seperti ini, keparat."

"Apa kau baru saja menyumpahiku?"

"Ya, mau aku ulangi seratus kali?"

Tinjuan tangan melayang sebanjar dengan hidungmu, namun jemari lentikmu menahannya. Tulang kering si pemuda yang menjadi tiang keseimbangan, kamu sepak bersama satu gelak memenuhi rongga mulutmu. "Apa kamu tidak menaruh prasangka? Mengapa keparat seperti kamu masih diberi jantung yang baik-baik saja?"

Si yang kamu katakan keparat itu berjerih payah menggalang sisa kekuatan untuk berdiri. Meskipun sambil menyerapahi, dia tampak menanti kalimat terusan darimu, begitu pula dengan anak cucu Adam dan Hawa di lapangan ini.

Kamu itu memang penyihir kapabel, ya?

"Bila saat ini kamu sudah berpulang di alam baka, berarti kamu orang baik. Tetapi, kamu masih di sini."

Vin, entah bagaimana mentari yang tadi sempat bersawala dengan wedus gembel sekarang nekat menyoroti ubun-ubunmu.

"Daripada kamu mengutuk diriku di sini. Sungguh lebih baik kamu pulang ke rumah dan bersujud untuk mencuci dosa-dosa. Seperti yang aku lakukan."

Apa kamu secara tersirat mengatakan jika dirimu juga seorang yang tidak baik?

Februari 10, 2021
Vin, bagaimana jika manusianya
tidak tersedak? Apa sisi suci
lebih mendominasi?

dasawarsa winduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang