"Vindth Soyala dan seragam sekolah."
"Ya, apa terlihat aneh? Ini hari pertama aku sekolah setelah libur panjang."
"Kamu manis seperti tiramisu."
Saya menyentak sepeda prasaja milik ayah yang masih diboyong ibu ke mana-mana. Pagi ini gerimis dan ibu tiba-tiba mengidam kue basah yang dijajakan pada sudut gang. Waktu kembali malah disuguhkan Vin dengan kemeja putih bersama cap almamater sekolah elite di ujung kota.
"Tiramisu?" Bibirmu masih pucat dan pagi ini hawanya beku. "Aku rasa kamu tidak tahu rasanya?"
"Oh, bagaimana kamu tahu?"
"Kata Bibi Kim, kamu tidak melahap sesuatu yang memuat kopi. Tiramisu bukankah campuran keju dan kopi?"
Gigi sukrosa saya menongol sebab ketahuan membual. Entahlah, tetapi saya tidak malu. Apa karena kamu berbeda? Lakumu, tata bicaramu, dan semerbakmu pun seperti mawar sudut kota. "Ibu saya pecinta tiramisu. Katanya, tiramisu itu manis dan rasa-rasa lezat lainnya."
"Selera Bibi Kim dan aku sama. Mengapa kamu berbeda?"
Oh, saya juga menanyakan itu.
"Di mana kamu bersekolah? Kurasa kita seumur? Atau kamu lebih berumur?"
"Saya bersekolah di rumah dan lebih tua darimu, mungkin?"
"Mungkin? Apa aku boleh bertanya, apa kamu tidak tahu umurmu?"
Tulang keringmu menarik mata kaki, rumput hijau yang tadi kamu pijak bernapas lega. Ujung hidung tomatmu mendekat sejajar dagu saya. Kamu maju untuk menagih jawaban seperti saya berutang bejibun padamu. Tetapi, saya mengelak. "Apa saya boleh bertanya, berapa umurmu?"
Bulu-bulu hidungmu relaksasi. "Dua tahun lagi genap dua windu. Sekarang berikan jawabanmu."
"Kata ibu saya, dua tahun lagi saya genap dua dasawarsa."
"Kamu tidak membual, 'kan, Kim?"
"Ibu saya tidak mungkin membohongi, bukan?"
"Oh, Pencipta Mayapada, harus bagaimana aku bagaimanakan kamu ini."
Kamu mirip sekali dengan ibu saya saat mengomel. Lamun, kamu versi muda yang gurat-gurat halus pada kelopak mata belum nampak.
"Omong-omong, Kim. Aku sudah menengah atas, meskipun umurku masih kicik."
"Lalu, apa kamu sedang pamer mengikuti kelas akselerasi?"
Surai cokelat sepunggungmu pagi ini tergerai dengan anak rambut yang melambai-lambai pada mata. Kamu tertawa, mempertontonkan gigi susu yang berjejer kukuh diterpa mentari.
"Aku hanya siaga, bilamana kamu berkunjung ke sekolahku."
"Apa kamu ingin saya jemput?"
"Kamu peka sekali, Kim Taehyung."
Butuh beberapa sekon suci untuk saya meneguk kalimatmu secara halus. Ini detik pertama kamu melisankan asma saya yang entah dari mana kamu mengendusnya.
"Sampai jumpa nanti sore, bayi beruang."
"Mengapa kamu percaya sekali jika saya akan menjemput?"
"Aku sudah bilang, jelas sekali kamu ini tipe yang butuh penjelasan." Dua tapak sudah kamu langkahi di depan saya. Dua tapak lagi kamu kembali menghadap suak saya. "Bukankah, kamu butuh penjelasan untuk namamu yang aku lafalkan dan julukan bayi beruang?"
Sepertinya kamu mengenal setengah dari lingkar hidup saya. Sedangkan saya sendiri tidak tahu setitik saja apa yang tersembunyi darimu.
Pagi gerimis tempo itu, saya tidak paham akan maksud penguasa waktu. Mengapa Engkau memperlekas waktu sore hingga menyapa mercu kepala saya?
Saya juga bingung akan telingkah kaki yang mendadak sudah sampai pada gerbang mencoang sekolahmu. Bening mata sawo matang saya menatap pemuda dan pemudi berkemeja putih dengan bawahan biru kelasi. Saya tersenyum, apa seragam itu nyaman di tubuh saya?
"Vindth Soyala adalah anak seorang yang terhukum."
Ujung bibir saya yang berangsur-angsur terpoles gerimis, meluruh. Apa baru saja namamu disebut bersama orang tuamu yang disudut?
✩
Februari 8, 2021
Vin, bagaimana jika hari itu
saya tidak menjemput?
KAMU SEDANG MEMBACA
dasawarsa windu
Fanficapa kekasih penulis membaca tulisan kekasihnya? ✩ with midnight rain guy, 𝐤𝐢𝐦 𝐭𝐚𝐞𝐡𝐲𝐮𝐧𝐠 (10/10)