Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Saya kembali sekali datang.
Minggu pagi dan senantiasa sunyi. Saya masih dengan ritual memasok minum untuk bunga-bunga anggun milik ibu. Tetapi, pagi itu saya mengerem tungkai tepat dua langkah setelah berdebumnya pintu utama.
Kamu sedang berjongkok dengan kepangan rambut seadanya, dan curangnya garis wajahmu tetap ayu. Rok putih kesi sebetismu menegur tanah gembur, lamun kamu tetap memetik bunga?
"Apa yang kamu lakukan?"
Saya lihat punggungmu terperanjat, persis anak perempuan tetangga yang tertangkap basah menggondol bunga-bunga ibu.
"Oh, kamu." Jemarimu sibuk menyelinapkan asoka, kamomil, dan bugenvil di rumpang rambut. "Kamu anak Bibi Kim rupanya."
Tidak ada gurat merasa bersalah, padahal kamu sukses memungut bunga-bunga milik ibu tepat di hadapan anak si pemilik. Namun, titik atensi saya fokus pada tiga bunga yang kamu pilih. Mengapa menjumput asoka, kamomil, dan bugenvil, sedangkan ada lilac, gardenia, dan sweet pea yang semerbak?
"Aku sudah meminta izin pada bibi untuk memungut bunga-bunganya."
"Saya tidak bertanya."
"Tidak mungkin. Jelas tertulis di dahimu, kamu ini tipe yang butuh penjelasan."
Oh, kamu benar tentang saya.
"Kapan kamu bertemu ibu? Saya saja baru menemuimu saat ini."
"Tadi subuh." Bibir pucatmu menyempit bersama satu hela napas dingin.
Sebelum saya melagukan tanya kembali, tidak sengaja (ini sungguh tidak sengaja yang haru) saya mendapati plester di empat jarimu kecuali si ibu. Begitu pun dengan punggung tangan kananmu, lebam.
"Mengapa subuh?
"Aku mandi subuh." Kamu menarik tumit menuju deretan bunga kamomil. "Aku bangun subuh." Telapak jarimu merambah kelopak asoka. "Aku bertemu bibi waktu subuh." Dan satu gagang bugenvil kamu comot kembali. "Sudah memenuhi bagian rumpang kepalamu?"
Saya menggeleng di hela napas keduamu. "Mengapa kamu pilih asoka, kamomil, dan bugenvil?"
"Aku saja tak tahu nama mereka dan kamu tanya mengapa. Aku tidak punya jawaban."
"Jangan cari jawabanmu kalau begitu."
Kamu berbalik berjalan ke jejak semula. Layangan mata hijau lumutmu jatuh pada dua bening kakao milik saya. Tapak kaki pucatmu menjejak pada tanah humus tanpa selembar karet sandal. Saya bahkan dapat menilik kuku tumpulmu yang terpotong rapi.
"Mengapa tidak boleh? Sementara, sesuatu tiba-tiba melintas pada pikiranku."
"Kalau begitu apa?"
"Oh, ho! Kamu begitu plinplan."
Saya mundur selangkah. Saking terkejutnya setelah telunjuk kananmu yang baik-baik saja singgah pada pucuk hidung saya.
"Maaf. Itu kebiasaanku pada si putih."
Bukankah saya yang malah terlihat lugu jika bersama kamu?
"Apa begitu terlihat plinplannya saya?"
Kamu yang mengangguk kencang, saya yang khawatir jika lehermu salah urat. "Jadi, mengapa kamu hanya memetik tiga bunga itu?"
"Mereka tidak menyebarkan harum. Tapi, saat aku dekatkan pada hidung, rupanya bau mereka hanya tersembunyi saja."
Saya membisu. Bingung menyeleksi pernyataan itu menjelaskan alasanmu memilih bunga-bunga atau melukiskan dirimu sendiri. Saya diam di antara ceruk eksistensi bunga-bunga yang memohon harap agar air pada ember di cengkeraman saya terbanjur pada inti sari mereka. Tujuh detik dan digit-digit suci selanjutnya, saya masih diam di celah pasang bunga merajut benang sari dan putik.
"Mengapa bibi dan kamu masih merawat bunga-bunga ini? Bukankah, mereka milik Nenek Orin?" (Pemilik rumah saya sebelum ibu).
Kamu mengajukan pertanyaan padahal tanda tanya saya lebih banyak. "Karena ibu suka bunga dan saya bukan anak durhaka."
"Terdengar omong kosong?"
Detik kala itu saya mengamini pernyataan kamu, mengiakan betapa omong kosongnya diri saya.
✩
Januari 31, 2021 Minggu tahun ini masih sepi, Vin.