4

121 43 76
                                    

"Kita bertemu berapa kali, tapi aku belum pernah mendengar namamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kita bertemu berapa kali, tapi aku belum pernah mendengar namamu. Maaf, ini terasa tidak sopan. Bagaimana aku memanggilmu?"

"Bertanya nama, bukankah terasa seperti menggoda?"

"Oh? Apa maksudmu aku sedang akan mengajakmu berkencan dengan kalimat basa-basi meminta nama?"

"Kamu seperti seorang ahli."

Roman wajahmu berganti masam. Saya kira karena jus melon di pangkuanmu yang cita rasanya sudah melewati tenggat segar. Tetapi, kamu malah menyepak betis saya hingga hampir saja menimpa bunga-bunga. Saya alhasil duduk pada pahatan kayu di samping kamu.

"Kenapa tidak kamu tanyakan kepada ibu?"

"Aku butuh namamu dan sangat sopan harus aku tanyakan langsung padamu, bukan?"

"Butuh? Apa kamu salah memilih diksi?"

"Aku memang butuh agar bisa memanggilmu tanpa kata ganti, hei tetangga, begitu."

Jus melon beku dalam mug kaca itu sudah habis kamu kunyah, tidak tahu faedah di baliknya apa. "Apa jus melon meredakan riuh di kepalamu?"

Sibakan bulu matamu memanggil jantung saya, hingga mahkota hidup di balik dada kiri melesat tak karuan. Saya menunggu labium pucatmu memperkenankan runtunan kata untuk menjawab pertanyaan eksplisit itu.

"Ya, melon manis. Dia tidak perlu tambahan gula beberapa sendok untuk menjunjung rasa."

"Oh. Mengapa harus beku?"

Kamu menyungging sabit di bawah deru bulu-bulu hidung. "Karena aku tidak ingin cepat menghabiskan waktu dengan si manis ini." Jari syahadatmu kemudian mampir kembali di dahan hidung saya.

"Oh, kamu tidak kaget lagi?"

"Saya ingin terbiasa."

"Denganku yang baru kamu kenal ini? Kebiasaan itu menakutkan, loh?"

"Tidak apa. Maka dari itu," sumbang, rumpang, dan kosong. Konjungsi saya kembali memungut kesabaran tambahan bagimu. "Ceritakan kepada saya, bagaimana Vindth Soyala itu."

"Oh, ho! Aksen bicaramu rendah sekali. Kalimatmu tadi seperti bukan pertanyaan."

"Ketahuan."

Betapa maginya hal prasaja yang kamu tunaikan selalu berimbas pada saya. Seperti suara kaca bercumbu kayu tatkala kamu menurunkan mug pada dudukan. Suara itu mengalun pada sendi-sendi, sampai tulang belulang saya.

Apa kamu penyihir kapabel?

"Tidak,"

Responsmu menggantung. Saya hampir menuduhmu mampu mendengar pertanyaan dalam balik jantung.

"Tidak perlu kamu mengetahui bagaimana aku. Tidak ada yang jempolan dariku. Ujung jari pun tidak ada yang bisa aku sombongkan."

"Saya tidak meminta keagunganmu, Vin."

"Ya. Memang apa yang diharapkan dari manusia sepertiku." Suaramu melantur. "Aku hanya perempuan yang berotak kicik dan suka bertarung."

"Kamu menolong seseorang. Apa maksudmu, kamu tidak diharapkan? Seperti pemuda tempo lalu, dia mengharapkan seseorang menyepak empedu si perundung dan kamu datang memenuhi harapannya."

Mata kakimu berayun-ayun menyerobot destinasi angin, entah mengapa bila ke mari, kamu tidak pernah mengenakan alas kaki. Tumpukan pipimu meluruh tersembunyi oleh surai sebab kamu menunduk.

"Vin, setiap orang, setiap kamu, setiap saya, dan kamu tentu saja. Bisa jadi adalah harapan orang lain. Kata siapa kamu tidak bisa diharapkan?"

"Aku sendiri." Kamu akhirnya mendongak sampai ubun-ubunmu mengantuk ujung dagu saya.

"Oh, ya sudah. Kamu mau saya harapkan?"

Onggokan pipimu berona jambu dan saya sangka kamu marah akan pertanyaan nyeleneh itu. "Maksud saya, agar kamu mempercayai dirimu sendiri. Kamu mau saya harapkan selalu di sini?"

"Di sini?"

"Di samping saya."

Tulang bercagakmu naik sempurna, pipimu yang berisi berubah menjadi tomat hingga hidung bangirmu ikut memulas. "Kamu harus aku adukan pada Bibi Kim."

Februari 7, 2021
Vin, saya merindukan kamu
tanpa alas kaki.

dasawarsa winduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang