9

90 26 27
                                    

"Bu, saya mau menanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bu, saya mau menanya. Di mana Vin? Apa dia menyasar di kandang bison? Atau mengikuti sepotong perang jalanan?"

Semalam, kamu masih bernaung di kolong halte, tubuhnu kuyup terhantam gebyuran hujan. Anak telinga sampai adik hidungmu turut merona. Kamu memilih rona hitam bagi busana dan suraimu kamu potong pendek.

Saya dengan payung lipat kepunyaan ibu masih berdiri di selisih pematang jalan, hanya untuk menyegani roman Dewi Bulan yang mengerubuti potongan merengutmu.

"Sedang mengunyah ampas air hujan," ayat ompong bin gaib saya menggelegar seraya lima belas langkah menemuimu. "Atau kamu mereka-reka program minggat, Vin?"

Tidak ada tedeng aling-aling, kamu malah meminta sesuatu dan merampok kesadaran saya. "Kim, tolong usap suraiku,"

"Apa rupa rambut cekak seperti ini, cocok untuk jadi gelandangan?"

Semalam, tiada sempat saya sambut pinanganmu, berikut linglung untuk jawab tanda tanya eksentrikmu. Saya jua lupa merekatkan kardigan serona bola mata milikmu

"Aku kepingin berehat dulu tanpa bayi beruang."

Sumpah. Seharusnya, saya tarik hasta dan pengumpilmu yang melempem baur beku semalam. Biar pagi ungu muda ini, saya tengah berpelisir dekat danau sesuai keinginanmu kemarin lusa.

Cocok untuk jadi gelandangan.

Berehat tanpa bayi beruang.

Apa yang harus saya lagukan pada ibu?

"Vin tidak memberi tagu ibu ingin melanglang ke mana?" Saya lihat ibu menyentak napas dan pucuk alisnya mengancing.

"Kamu kelenyapan Vin, Kim? Tidak memafhumi betapa dilematiknya Vindth Soyala?"

Rembukan ibu mampu buat saya mematung sampai ompong. "Kotak akhir yang kosong pada enigma saya adalah puatang, ya, bu?"

Terbetik seret napas kembali. Ibu sekadar pergi, pun tidak menyodorkan saputangan untuk sejodoh ain kakao saya yang berembun.

Minggu memakan bulan.

Saya senantiasa gelisah sampai kelukur mengganyang sekotes kuku kaki, gara-gara sering besuk rumahmu dengan menyeberangi sekat antara bilik kita. Di sana tidak ada yang dapat saya sendok, Vin. Rangrangan minggatmu atau jejak cecunguk yang bisa saja menggondolmu waktu subuh pun tiada.

"Ibu, saya tidak pernah minta hingga menjura setangkup ini, bukan?"

Bugenvil putih yang bertandak hanya geleng kepala, merealisasi dongkolnya ibu. "Kamu masih mengukuhkan diri? Kamu merasa laik mengharapkan Vin jadi rusukmu?"

Tetiba, saya sangka gemawan yang kadang kala seliweran labuh dan layar itu cuma guyonan. Rupanya dapat tendangan. Ada si bejat wedus gembel yang merajalela, buat mereka bercempara dan luntang-lantung.

Itu wabah, Vindth.

"Saya tidak tahu parafrasa dari kelayakan itu apa."

"Kim, jangan berharap sampai patah atau tanya potret Vin hingga gumoh, ya. Tolong."

Karena saya wabah. Si reyot wedus gembel yang bikin luntang-lantung dan tak pantas tahu kamu sumpah jadi gelandangan atau tidak.

Februari 28, 2021
Vin, tahun ini kamu mencopot
gelar sekolah di baya dua windu, bukan?

dasawarsa winduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang