Besoknya Sei panas tinggi.
Genangan air di dapur membuatnya terpeleset kencang, kepalanya terantuk lantai membuatnya tak sadar hampir semalaman. Lalu siuman di pagi harinya dengan suhu badan di atas normal. Membuatnya harus absen kerja, serta meringkuk di kamar sambil tergulung selimut.
Lalu siapa yang repot sementara Sei tidak bisa apa-apa? Benar.
"Sei? Anu, kamu mau makan apa?"
"Terserah, yang ada aja..." jawab Sei dengan suara pelan, matanya terbuka sedikit sebelum tertutup lagi. Pandangannya berkunang-kunang, apakah jari itu menunjukkan satu atau lima? Entah.
Yuta mengacak rambutnya dengan frustasi, masalahnya dia tidak tahu makanan untuk orang sakit itu apa nanti salah-salah malah tambah parah. Tapi dia menutup pintu kamar Sei agar malah tidak makin stress melihat mukanya.
Tadi malam setelah Sei ditemukan pingsan, ia dengan susah payah menyeretnya ke kamar dan menaruhnya di atas kasur. Lalu masih bersama kepanikannya, ia memikirkan segala cara agar Sei bisa bangun. Untungnya sebelum disiram dengan ember berisi air penuh, perempuan itu sudah membuka mata di pagi hari dengan pikiran linglung.
Sejujurnya Sei agak gemetar kalau mengingat hal tersebut, ia membiarkan seorang pria dewasa berada di rumahnya dan mengurusnya sendirian. Andai Yuta orang jahat—jangan, jangan dibayangkan. Astaga, dunia itu kejam makanya Sei mikir yang enggak-enggak begini.
Seharusnya hari ini ia juga masuk kerja, karena kondisi tidak memungkinkan maka Sei menelepon Seulgi minta bilang ke manajer mereka kalau Sei sedang tidak enak badan. Memang tidak enak badan sih, tapi mana mungkin ia bilang sebab pingsan semalam penuh? Bisa-bisa Seulgi langsung pergi ke rumahnya sambil membawa parsel berjejer di depan pintu.
"Sei...? Ah, kenapa bangun?" Yuta mengetuk pintu kayunya, saat terbuka tampaklah dirinya membawa segelas air panas.
"Gak kok, baru ngabarin temen aja. Apa itu?" Sei mengintip dari balik selimut, ditanya apa itu yang dibawa oleh Yuta.
"Air panas."
"AH INI SIH PANAS BANGET!" Sei memekik begitu telapak tangannya menyentuh dinding luar gelas pemberian Yuta, dipikirnya yang dimaksud air panas adalah air hangat ternyata benar-benar panas. Kalau begini caranya, suhu badannya malah tambah terbakar. "Kenapa bikin air panas?!"
Bibir Yuta menekuk ke bawah, jujur dia tidak mengerti cara menawar demam. Sudah dia perkirakan air panas tidak akan mendinginkan suhu, tapi air dingin juga tidak akan mendinginkan malah sebaliknya. Seingatnya kalau sakit demam begini harus diobati dengan cara-ah, tetapi kalau dia mencoba mengingatnya kembali malah jadi sakit kepala tanpa alasan.
"Habis aku gak tau...." jawabnya dengan suara pelan, kepalanya menunduk.
Sei agak kasihan juga sih lihat Yuta dimarahi terus (olehnya). Namun sungguh, yang dikerjakan Yuta sekarang malah seakan jadi misi untuk membuatnya tambah sakit, walau faktanya dia memang berniat jujur akan mengobati meskipun caranya agak tidak professional. Sei saja masih bisa bangun untuk sekadar mengambil minum, tapi Yuta dengan sigap mengambilkannya gelas air kepenuhan.
Di saat seperti itu, baru disadari kalau rambut Yuta yang agak panjang terlihat mengganggu arah pandang sedikit apalagi yang menutupi matanya. Refleks Sei mengambil ikat rambut dan meminta Yuta untuk membalikkan badan.
"Kenapa Sei? E-eh!" Yuta tersentak dikarenakan tangan Sei tiba-tiba menarik rambut di belakang kepalanya, ia hanya bisa diam di kala perempuan itu mengumpulkan rambutnya sampai terbentuk kunciran kecil.
"Selesai!" gumam Sei, rasanya puas saja melihat helai panjang rambut Yuta tidak menutupi leher. "Begitu kan bagus? Emang gak risih ya, rambut panjang kayak sarang burung begitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika | Nakamoto Yuta
Fanfiction"Arunika: Cahaya matahari ketika pagi dimulai" Pasti ada maksud dari kamu yang bertemu denganku. Highest rangking: #8 out of 113 on yutanct