Masih Mencari

23 3 0
                                    

Masih Mencari

Mencintai seseorang itu memang tidak bisa dipaksa, tapi kalau memang dia diutus oleh Tuhan untuk lu, lu pasti dikasih perasaan itu untuk dia.

~ Gabbel

Samar-samar terdengar alunan musik. Suci sedang duduk di meja rias sambil mendengarkan lagu serta tangannya sedang mengetikkan sesuatu. Masih pudar pandangan gadis yang baru saja terbangun dari tidurnya, tapi Gendis tau, pasti Suci sedang mengerjakan kerjaan sampingannya, sebagai penulis Suci kerap kali dikejar deadline. Gendis bangkit dari tidurnya, bersandar pada tembok dengan selimut yang masih membelit tubuhnya. Entah bagaimana Gendis berterima kasih pada sahabat tersayangnya itu. Suci sangat sabar dengan tingkah aneh Gendis yang datang secara tiba-tiba.

Kini perasaannya mulai membaik, tapi tak mengubah apapun, setidaknya ia bisa mengontrol emosinya. Gendis masih menatap punggung Suci yang membungkuk, serius pada ponselnya. kemudian ponselnya berdering, wanita berhijab itu mengubah posisi duduk, bersandar pada kursi dan mengangkat telepon.

Gendis tau siapa penelpon itu. Kekasihnya, ya, kekasih Suci pasti rindu tidak bertemu dengannya sampai beberapa waktu ke depan. Ya pasti rindu, sangat rindu. Bagaimana dengan Gendis? Yang sudah tidak mendapat kabar selama beberapa bulan. Sangat sakit rasanya. Gendis menguping.

"Iya, di sini dingin sekali," ucap Suci, "iya, aku juga, kamu jaga kesehatan, jangan lupa makan yang bener ya, aku di sini sama Gendis," lanjutnya sambil menengok ke arah Gendis, "baik-baik aja," matanya sendu menatap Gendis, "iya, pasti akan aku telepon ya." Suci kembali memunggungi Gendis, "Miss you too." Kata terakhir Suci.

Gendis tak berkedip sama sekali. Suci menarik nafas panjang, lalu membuangnya peralahan. "Dis, mau ikut?"

Dibawah mentari yang berinar lepa juhan salju Gendis dan Suci berjalan menyusuri jalan Bassins Du Champ De Mars. Suci mengajak Gendis ke menara Eifel lagi. Aura wajah Gendis tidak separah tadi, setidaknya kini terdapat guratan merah dari pipinya. Kantanya ia baru saja bertemu sosok yang ia rindukan dalam mimpinya. Tuhan mempertmukan mereka berdua, walau hanya lewat mimpi, tapi dengan begitu saja sudah merubah Gendis sebanyak 1%. Setidaknya ada perubahan.

"Lu tau nggak Dis?"

"Apa?"

"Tuhan itu memeberikan semua yang pantas untuk kita." Kata Suci sambil memandangi Eiffel yang mulai tertutup salju, itu sangat indah. "Tuhan memberikan ini semua, berarti kita pantas untuk mendapatkannya Dis."

Gendis lenyap pada ucapan Suci. Ia juga melihat sekeliling, sangat indah. Rerumputan hijau yang sebagian tertutup salju, daun yang menguning juga terdapat putih salju. Semua indah, gradasi ciptaan Tuhan yang di berikan untuk mereka. Kata-kata itu mengingatkan Gendis akan hal yang sangat penting dalam hidupnya.

Kala itu...

Denting piano menyejukan hati menggema di toko musik sebuah mall di kawasan kota Jakarta. Jari-jemari menari dengan lincah di tuts menghasilkan nada demi nada yang menyentuh. Pianis itu mengerakan badannya perlahan mengikuti arah kemana jarinya bergerak, sesekali terpejam hanyut dalam instrumen yang dibawakannya.

Gendis melemparkan senyuman bangga, ia sangat menikmati lantunan yang membawanya pada angan. Ia menatap sang pianis penuh kagum, dengan tangannya menopang dagunya pada ujung grand piano. "Keren."

"Terima kasih." Balas Gabbel sambil beranjak dari kursi dan mengajak Gendis untuk keluar dari toko musik.

"Belajar dari mana?" tanya Gendis penasaran.

"Gamma."

Gendis membulatkan matanya. Benar tak percaya ternyata Gamma bisa bermain musik selain gitar. Ya Gamma sering bernyanyi di kelas, eh lebih tepatnya membuat keributan di kelas, bernyanyi tidak jelas menggunakan gitar. Tapi disuatu waktu, Gendis pernah memergoki Gamma sedang memainkan gitarnya dengan instrumen yang sangat indah, tapi Gamma langsung memberhentikannya saat melihat Gendis, kemudian pergi membawa gitar.

G (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang