SAYANG

29 1 0
                                    


Sayang

Suara angin mengusik tidur anak gadis yang baru saja terlelap. Suci yang tidur di ujung ranjangpun membuka selimut yang menutupi wajah, kemudian sepasang matanya mengelilingi ruang tidur, gelap, hanya ada segaris cahaya yang terlukis di tembok, cahaya dari celah gorden, kemudian tangannya meraba nakas, menyalakan lampu. Cahaya yang tamaram sukses membuatnya terkejut bukan main, bahkan hingga gadis bertubuh langsing itu terjatuh dari ranjang yang membuatnya mengerang kesakitan.

"Ah, Gendis ngapain sih lu?" protesnya kembali berbaring di ranjang sambil memegang bokongnya.

"Duduk."

Sungguh naas, Gendis nyaris seperti mayat hidup. Mengenakan piyama panjang berwarna putih dengan sedikit corak berwana hitam di ujung baju pergelangan tangannya, ia tengah duduk meringkuk memeluk lutut di pojok kasur bersandar pada tembok, serta rambutnya seperti singa, mengembang. Sebenarnya kalau dilihat, Suci bukannya iba terhadap Gendis, melainkan ingin terbahak hingga perutnnya sakit, sebab secara keseluruhan terlihat seperti bola yang diletakan di pojok ruangan.

"Eh, kenapa harus begitu sih?" tanya Suci melempar bantal ke kepala Gendis.

"Gak bisa tidur."

Kembali terdengar suara angin dari luar jendela. Suci menatap jendela yang tertutup. Sama. Suci juga sulit untuk tidur, suasana baru dan sulit baginya untuk beradaptasi. Di Paris, sang kota romantis kini sedang berganti musim. Suci melirik kembali sahabat karibnnya, rupanya Gendis menggunakan kaos kaki yang berwarna putih juga. Beruang kesayangan itu kedinginan. Suci tau itu, Gendis sebenarnya tak kuat dingin, saat bekerjapun ia paling anti masuk walk in chiller barang semenitpun, dingin katanya, padahal tubuh Gendis berlapis lemak tebal. Suci bangkit, menuruni ranjang dan meraih sweeter serta kaos kaki dan ia langsung mengenakannya, ia juga merasa kedinginan.

"Besok mulai dari mana?"

Suci menaikan kedua bahunya, sebenarnya Suci juga tidak tau mulai dari mana mencari sosok yang sudah menghilang beberapa bulan ini. Mulai mencari di gorong-gorong? Selokan kota? Atau bak tempat sampah? Suci juga tidak tau mulai dari mana mereka akan mencari. Suci pun tidak tau seluk beluk kota ini, pertama kali pula ia menginjakan kakinya di sini.

"Ci?" Gendis menuntut jawaban.

"Udah mending sekarang tidur. Nyarinya gimana besok aja ya. Selamat malam." Suci langsung bergegas menutup tubuhnya, mematikan lampu dan memejamkan mata, berharap lekas tidur.

Perlahan Gendis merebahkan tubuhnya, menyelimuti tubuh dan juga berusaha memejamkan mata. Beberapa kali ia mengubah posisi tidur, beberapa kali juga ia memutar bantal agar merasa nyaman. Tapi nyatanya ia sama sekali tidak bisa tidur. Ia menyalakan ponsel, membuka kembali room chat yang hanya meninggalkan kata demi kata yang sangat ia rindukan. Ia membuka history chat tahun lalu, ia mencari cari lokasi yang pernah di dapatnya, lokasi di mana sang kekasihnya berada. Lokasi itu sekitaran menara Eiffel. Cukup dekat dari tempat ia menumpang. Mungkin ia akan mulai mencarinya di sana. Ya. Dengan penuh harap serta rindu yang kini dengan kejam menusuk perasaan Gendis, dadanya semakin sesak. Susah payah ia mengatur perasaannya hingga tak sadar ia mulai terlelap.

Enam tahun yang lalu...

Pagi sekali pesan masuk bertubi-tubi yang membuat si punya ponsel terbangun. Ia menggerutu, sebal mimpinya bertemu dengan sang idola lenyap sudah. Dengan wajah bantal serta terdapat kerak putih di ujung bibir kirinya, Gendis memaksa matanya membaca isi pesan. Pesan dari orang yasng sama. Pesan yang menyuruhnya untuk datang ke lokasi yang diminta. Ia sama sekali tidak tertarik, ia hanya tertarik untuk tidur kembali tanpa diganggu.

G (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang