Pulang

23 4 0
                                    

Pulang

Entah hari keberapa Miko datang, bersama Azka dan suaminya, mereka pula yang menjemput Miko dengan senang hati di bandara dan mengantarkannya ke rumah sakit, sekalian membawakan makanan rumahan untuk Gendis, Suci dan juga yang lainnya.

Miko dan Suci melepas rindu karena selama dua minggu lebih mereka berpisah. Selanjutnya, Miko tak ada habisnya bercanda dengan Gamma. Sangat berbeda sekali atmosfernya ketika Gendis datang hanya untuk sekedar ikut berbincang, tatapan, lirikan, raut wajah, ah, semuanya Gamma berubah.

Gendis mundur, lebih baik ia ke luar kamar dan menatap kekasihnya yang belum juga memberikan tanda-tanda akan siuman, Gendis melangkah tanpa tujuan. Ia berharap besar akan keajaiban dan kejutan yang akan di berikan Tuhan. Tiap hari, jam, menit maupun detik, Gendis tak melepaskan doa itu, mengalir mersama nafasnya, selalu.

Gendis melamun, otaknya memutar masa-masa indah bersama Gabbel. Tiap tahun mereka merayakan ulang tahun bersama, saling berucap janji untuk bersama saat hari jadi, melewati malam tahun baru dengan jagung bakar dan sate.

Tidak tau malam pergantian tahun keberapa, tak ingat. Yang Gendis ingat saat itu ia menghabiskan detik-detik terakhir menyambut tahun baru bersama Gabbel. Tengah malam, terompet melolong di sana-sini, kembang api meletup di udara, langit hitam seketika penuh warna. Gendis menatap langit penuh takjub, sedangkan Gabbel? Tangannya sibuk menutup kedua daun telinga Gendis.

"Tau nggak Dis?" Gabbel bertanya ketika kembang api usai.

Gendis berbalik dan menganggat halisnya, seraya bertanya. "Apa?"

"Terkadang aku ingin menjadi kembang api..." Gabbel menarik nafasnya, kemudian tangannya mengayun berisyarat. "Terbang ke angkasa, nyaring dan kuat suaranya, indah pula warnanya."

Gendis menimpali. "Gabbel memang kembang api, meledak dan memberi warna dikehidupan Gendis."

Gabbel menggeleng. "Tapi aku sadar, letupan indah di langit itu cuma sesaat."

"Walau sesaat, tapi membekas di hati Gabbel..." Gendis tak mau kalah. Ya, Gabbel itu seperti kembang api, terbang bembawa Gendis, meletup dan memberi warna dihari-hari Gendis.

Gabbel tertawa, kemudian merangkul Gendis sayang.

Kemudian ia teringat masa-masa kelulusan sekolah SMA. Gabbel menghabiskan waktu bersama Gendis, tidak seperti teman-teman lainnya, teman Gendis di SMK maupun teman Gebbel di SMA yang menghabiskan hari kelulusan dengan mencoret-coret baju. Gabbel justru mengajak Gendis ke Monas. Ya, itu lagi. Iitu lagi.

Di sana memang salah satu tempat favorit mereka untuk menghabiskan sore dan menyambut malam. Di sana juga, dengan berat hati Gendis melepas dan mengizinkan Gabbel untuk pergi.

"Gamma sudah bilang ke Gendis?"

Gendis mengalihkan pandangannya dari Monas yang berada di hadapannya. "Bilang apa?"

"Belum?"

"Sudah lama nggak pernah ngobrol sama Gamma."

"Oh iya." Gabbel menatap Monas kembali.

"Memang Gamma harus bilang apa ke Gendis?"

"Kami sudah memutuskan untuk keliah dimana." Jawab Gabbel.

"Dimana?" Tanya Gendis antusias.

"Paris." Gabbel sangat tenang menjawabnya, tatapannya masih ke Monas. "Tahun depan, bukan Monas yang aku lihat, tapi Menara Eiffel."

"Kenapa jauh banget, kenapa nggak di Bandung aja gitu? Atau di Surabaya? Jogja?"

"Seneng dong, jangan sedih, masih tahun depan kok. Gimana, boleh?" Gabbel merangkul Gendis seperti biasa.

G (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang