Episode Satu

148 13 23
                                    

EPISODE SATU

Gendis menarik koper besarnya menuju lobby bandara Charlea De Gaulle. Rupanya orang kenalan Suci sudah menunggu mereka.

"Bonjour." sapa perempuan berhijab dengan logat khas orang Perancis.

"Bonjour." balas Suci kemudian mereka saling bersalaman.

"Bagaimana dengan penerbangannya?" tanya Azka yang sebenarnya asli kelahiran tanah air enam tahun lebih tua dari Gendis dan Suci.

"Capek banget kak! Padahal cuma duduk doang!" Suci menjawab sambil melirik Gendis yang selalu saja bermuka tembok.

Belasan jam sudah Gendis dan Suci hanya duduk di dalam pesawat, setidaknya mereka bisa bernafas lega karena telah sampai tujuan dengan selamat sentosa. Yang mereka butuhkan saat ini hanyalah kasur untuk berbaring, karena berada di dalam pesawat itu sangat tidak leluasa.

Azka memanggil taxi untuk membawa mereka ke apartemennya. Itulah mengapa Gendis tetap nekat untuk pergi mengunjungi Paris walaupun tabungannya begitu pas-pasan. Azka selaku sahabat dari kakaknya Suci, dengan senang hati memberi tumpangan untuk mereka selama dua minggu ke depan. Gendis duduk berdampingan dengan Suci di kursi belakang. Gendis sama sekali tidak bersuara, bahkan Suci tidak dapat menangkap garis wajahnya, tidak ada ekpresi sama sekali, ia benar-benar muka tembok. Suci melikirk Gendis yang hanya memerhatikan keadaan sekitar yang penuh dengan manusia dan bangunan bergaya Eropa. Tak lama mereka sampai di apartemen Azka. Azka tinggal bersama suaminya yang juga asli Indonesia, tapi saat ini suaminya tengah bekerja. Mereka sudah tinggal di Paris selama dua tahun.

Azka menunjuk satu kamar untuk Gendis dan Suci. Kamar itu tidak terlalu besar, namun cukup untuk mereka berdua. Azka juga mempersilahkan mereka untuk beristirahat selagi ia memasak sesuatu untuk tamu jauhnya.

Gendis langsung merebahkan tubuhnya pada kasur, dalam otaknya terus terbayang sosok yang ia rindukan. Tatapannya, senyumannya, bahasa tubuhnya, semuanya ia rindukan. Bahkan kerinduan itu tidak dapat ia tampung lagi di hatinya, ia ingin cepat mencari dan beremu dengan sosok itu.

Suci ikut berbaring, "Gue yakin Dis, pasti gak ada yang aneh kok sama ini semua," tuturnya pelan. Gendis hanya mendengarkan. "Lu pasti bertemu lagi sama dia." lanjutnya optimis. Seoptimis apapun Suci tidak akan membuat hati Gendis membaik. Walaupun Gendis selalu mengeluh kepada Suci, bukan berarti Suci dapat merasakan semua apa yang dirasakan Gendis.

"Hm." respon singkat Gendis sambil membalikan tubuhnya dan menjauh dari Suci.

Sebenarnya Suci sangat kesal jika Gendis seperti itu. Seolah di dalam tubuh Gendis bukanlah jiwa aslinya. Untungnya Suci mengerti dan paham betul mengenai sahabatnya itu. Gendis butuh ruang untuk sendiri. Jadilah Suci meninggalkan Gendis seorang diri.

"Dis, gue bantu Kak Azka masak ya." pamit Suci sebelum menutup pintu kamar dengan rapat.

Saat itu pula, setetes air bening keluar dari kelopak mata Gendis. Gendis tidak dapat mengutarakan perasaannya saat ini, ia hanya bisa menitikan air mata dan berbisik "I miss you" di sela-sela isakan yang terus menjadi-jadi.

Empat tahun yang lalu.

"Gendissss!" suara itu memenuhi ruang kelas saat jam istirahat berlangsung. Gendis membelalakan matanya setelah mengetahui siapa yang memanggilnya. Laki-laki tengil menghampirinya sambil memakan sesuatu, "Gue punya panggilan baru buat lo!" ucapnya setelah mantap duduk di atas meja belajar.

"Apa?"

"Nih!" laki-laki itu memberikan sebuah makanan berbentuk bulat yang terbuat dari tepung beras ketan yang dilumuri oleh gula merah cair. "Taukan ini namanya apa?"

G (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang