Epilog

27 3 0
                                    

Epilog

Hai Dis. Apa kabar? :)

Sebuah pesan masuk di bulan ke dua tahun baru, sontak membuat si penerima pesan itu membuka mulutnya dengan bulat, matanya juga hampir keluar. Jangan tanya bagaimana suaranya, jelas melengking. Iya, dia memang Gendis.

"Awas keselek Dis." Nasehat sederhana Suci di siang hari, ditemani dengan sepiring nasi dengan lauk cah kangkung, ayam goreng serta sambal tak lupa kerupuk di sisi piring beralas tisu. Di ruang makan karyawan tempat mereka bekerja.

"Ini. Ini?" Gendis terbata-bata sambil melanjutkan sesi mengunyah makanannya yang tertunda.

"Siapa?"

Tak ada jawaban dari Gendis.

"Mas Danna nyuruh kamu datang ke nikahannya? Masih lama kan, dua bulan lagi."

Gendis menggeleng.

"Oh, lu minta ditemani Mas Danna ke pernikahan gue? Terus Mas Danna jawab, 'iya Gendis, Mas mau temani Gendis' gitu?"

"Enggak, bukan Mas Danna." Gendis menggeleng, halisnya masih bernaut, tangannya sibuk mengetik balasan untuk pesan itu, tapi dihapus lagi, tak tau harus balas apa. Begitu terus beberapa kali, dihapus lagi. Lagi, lagi dan lagi.

"Siapa sih?" Suci merebut pinselnya. Lantas segera membulatkan mulutnya dan matanya juga hampir keluar, sama seperti Gendis tadi. "Kenapa harus pakai nomor handphone saudaranya?"

Gendis menggeleng. "Bukan dia kali Ci, bisa aja bundanya."

"Mana mungkin, tante Tammi setiap hari nanya kabar lu kan?"

Gendis mengangguk, mulutnya mengunyah.

"Pake nomornya sendiri kan?"

Gendis mengangguk lagi.

"Mana mungkin tante Tammi pakai nomor anaknya, ini pasti saudaranya."

"Tapi kenapa nanya kabar gue? Bukannya dia benci ya sama gue?"

"Lalu, ini beneran Gabbel gitu yang ngirim? Mikir lah! Sini gue yang balas." Suci menjawab pesan itu sambil mengucapkannya. "Baik. Gabbel di sana ada hp?" Suci menaruh ponsel Gendis di meja. "Sudah! Balas begitu saja pakai lama kau Dis."

Ponsel Gendis berbunyi. Pesan itu langsung di balas.

Syukurlah.

Hahaha. Ini bukan Gabbel.

***

Berapa bulan setelah pesan itu, selepas kerja, Gendis mampir ke bagunan tinggi ciri khas ibu kota. Monas ketika malam sangat cantik, berhiasi lampu sorot dan pengunjung yang tidak pernah sepi. Gendis menatap ujung Monas, berkilau. Di tangannya menggenggam gantungan kunci yang menyimpan semua kenangannya.

Kota Paris dan Menara Eiffel memang indah, menyenangkan, tapi bagi Gendis Kota Jakarta dan Monas jauh lebih indah dan menyenangkah, selain itu di sinilah kisah yang selalu ia kenang tercipta.

Gendis terkaget saat seseorang menepuk bahunya di kala ia sedang melamun. Seseorang yang ia kenal tengah tersenyum dan kemudian duduk di sisinya. Lelaki yang sudah lama tak ia lihat apa lagi tegur sapa.

"Lama nggak ketemu." Katanya memulai percakapan.

"Iya. Bagaimana kabar lu?"

"Menurut lu?" laki-laki itu merenggankan tangannya, seraya Gendis bisa menjawab sendiri pertanyaannya.

"Keliatan baik."

"Tapi dalamnya belum." Potong laki-laki itu pelan dan duduk dengan tenang.

Gendis tertunduk. Kata-kata lelaki ini kembali terngiang, kata-kata yang terlontar saat di rumah sakit, lelaki ini yang terus menuduh Gendis atas kematian saudara kembarnya.

G (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang