Permintaan Maaf

16 2 0
                                    


Permintaan Maaf

Larut malam ponsel Suci berdering. Dengan mata yang tertutup serta kantuk yang berat, Suci meraba kasur mencari ponsel dalam gelap dan dinginnya malam. Mata Suci seketika terbuka lebar saat menerima telepon dari Desti, pembantu Nyai yang tempo hari dikunjungi Gendis dan Suci.

"Maaf saya telepon malam-malam. Saya nggak tega sama teh Gendis. Kalau ditanya teh Suci tau dari mana, jangan bilang dari saya ya. Saya mohon." Ucap terakhir Desti sebelum menutup sambungan.

Suci menatap kosong ke arah jendela. Mencerna semua apa yang dikatakan Desti kepadanya. Diliriknya Gendis yang terlelap dengan tenang, tangannya membelai rambut Gendis, gadis itu menggeliat terganggu. Suci tak tega jika harus mebangunkan dan memberi taunya sekarang. Suci akan memberi taunya esok.

Sampai paginya Suci tidak bisa tidur, masih shok dengan kabar semalam. Gendis masih terlelap saat mentari mulai menyinari bumi. Suci juga langsung menelepon kekasihnya, memberi kabar yang mengejutkan itu, kekasihnya akan segera mencari penerbangan secepat mungkin untuk menyusul Gendis dan Suci.

Usai sarapan. Azka mengantarkan Gendis dan Suci, ke tempat yang di tuju. Tempat itu ada di pinggiran kota. Mereka menggunakan metro lagi sebagai alat trasportasinya. Suci dengan sengaja tidak memberi tau kemana mereka akan pergi kepada Gendis. Suci hanya menyampaikan bahwa ada petunjuk penting. Mimik wajah Gendis ikut menengang, setegang Suci sejak semalam. Dalam perjalanan, tangan Gendis mengepal penuh gemetar. Di tangannya terdapat sebuah alat kecil, alat yang selalu di gunakan kekasihnya setiap hari. Dilihatnya lagi alat itu, ia teringat bagaimana ia mendapatkan alat penting itu.

Saat itu...

Gendis meminta ibu untuk mengantarnya ke rumah Gabbel. Ia tak enak hati dengan kelakukan Danna semalam kepada Gabbel. Gendis juga tidak bisa mengiriminya pesan, ponselnya hancur lebur, jadilah ia membenarikan diri untuk mengunjungi Gabbel esok siangnya.

"Assalammualaikum." Gendis mengetuk pintu rumahnya yang terlihat sangat sepi. Pintu terbuka saat Gendis mengucapkan salam yang ke tiga kalinya.

Yang membukakan pintu seorang wanita seumuran ibunya, wanita itu menggunakan hijab hitam dan tersenyum kepada Gendis sambil membalas salamnya.

"Hai." Ucapnya melebarkan senyumannya lagi, senyuman itu persis Gabbel. Pasti beliau ibunyanya Gabbel.

"Maaf mengganggung bu. Saya ibunya Gendis, Gabbel nya ada?" ibunya Gendis memulai.

Beliau mengangguk ramah dan mempersilahkan Gendis dan Ibu masuk tanpa mengurangi kadar senyumannya. Ia berteriak memanggil pembantunya, meminta agar menyiapkan suguhan untuk tamunya.

"Saya Tammi, bundanya Gabbel." Beliau memperkenalkan diri.

"Saya Sulastri." Ibu juga memperkenalkan dirinya.

"Ah iya, saya bangunkan Gabbel dulu ya."

"Tidak usah bun, nggak apa-apa, biar Gabbel istirahat." Sulastri mencegah Tammi untuk membangunkan Gabbel, Tammi kembali duduk, "Tujuan saya memang ingin bentemu dengan orang tuanya... saya ingin mengucapkan permintaan yang sebesar-besarnya kepada bunda Tammi atas ... atas pemukulan Gabbel semalam, ya Dis?"

Gendis mengangguk.

Tammi memegang tangan Sulastri, "Iya bu, anak muda, biasa." Tammi tersenyum. Datang pembantunya, membawa teh dan beberapa cemilan. "silahkan diminum."

"Gabbel nggak apa-apa kan tante?" Gendis bertanya, tidak sabar.

"Nggak apa-apa sayang, oh iya, bangunkan Gabbel yuk, dia tuh susah banget kalau dibangunin." Ajak Tammi.

G (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang